Jumat, 28 Maret 2008

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR …… /U/2004

TENTANG

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003

Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Standar kompetensi lulusan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang wajib dimiliki peserta didik untuk dapat dinyatakan lulus.

3. Standar isi adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan cakupan dan kedalaman materi pelajaran untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

4. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan prosedur dan pengorganisasian pengalaman belajar untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

5. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kualifikasi minimal yang harus dipenuhi oleh setiap pendidik dan tenaga kependidikan.

6. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan prasyarat minimal tentang fasilitas fisik yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

7. Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pelaporan, dan pengawasan kegiatan agar tercapai efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.

8. Standar pembiayaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan biaya untuk penyelenggaraan satuan pendidikan.

9.Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan alat penilaian pendidikan.

10.Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

11.Badan Standardisasi dan Evaluasi Pendidikan adalah badan mandiri yang melakukan kegiatan standardisasi dan evaluasi pendidikan.

12.Lembaga evaluasi mandiri adalah lembaga evaluasi yang dibentuk oleh masyarakat dan/atau asosiasi profesi untuk melakukan evaluasi peserta didik, satuan, dan program pendidikan.

13.Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan.

BAB II

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Bagian Pertama

Fungsi

Pasal 2

Standar nasional pendidikan berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan, pengendalian, dan pengembangan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

Pasal 3

(1). Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

(2). Standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan secara berkala sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan situasi yang dihadapi.

(3). Standar nasional pendidikan dikembangkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

(4). Dalam pengembangan standar nasional pendidikan mengikutsertakan unsur pendidik dan tenaga kependidikan, asosiasi profesi, dunia usaha, industri, lembaga masyarakat dan unsur departemen terkait.

Bagian Kedua

Standar Isi dan Proses

Pasal 4

(1). Setiap satuan pendidikan wajib menggunakan standar isi yang meliputi cakupan dan kedalaman materi dan tingkat penguasaan kompetensi yang dituangkan kedalam kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran.

(2). Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar penyusunan kurikulum, buku teks, dan bahan ajar lainnya untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

(3). Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 5

(1). Setiap satuan pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan melaksanakan proses pendidikan yang membudayakan dan memberdayakan, demokratis dan berkeadilan, tidak diskriminatif dan menjunjung HAM, nilai keagamaan, budaya, dan kemajemukan.

(2). Proses pendidikan pada setiap satuan pendidikan diselenggarakan dengan memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas dan kemandirian peserta didik sesuai dengan perkembangan, kecerdasan, dan kemandirian dalam rangka pencapaian standar kompetensi lulusan.

(3). Setiap satuan pendidikan dalam melaksanakan proses pendidikan berpedoman pada kalender pendidikan untuk setiap satuan pendidikan, jumlah peserta didik per kelas, kinerja dan beban mengajar pendidik, kinerja dan beban konselor, serta kinerja dan beban tenaga kependidikan lainnya.

(4). Standar proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Standar kompetensi lulusan

Pasal 6

Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penentuan kelulusan untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Pasal 7

(1). Standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(2). Standar kompetensi lulusan pendidikan tinggi ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi.

Bagian Keempat

Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pasal 8

(1). Standar pendidik dan tenaga kependidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan mencakup kualifikasi dan tingkat penguasaan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan.

(2). Pendidik dan tenaga kependidikan pada setiap jenjang dan jenis pendidikan wajib memenuhi kualifikasi pendidikan dan memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

(3). Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperoleh melalui pengalaman yang dapat disetarakan dengan kompetensi tertentu.

(4). Seseorang yang memiliki sertifikat kompetensi karena pengalaman kerjanya dapat menjadi pendidik atau tenaga kependidikan tanpa harus memiliki kualifikasi pendidikan

(5). Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup kompetensi akademik, profesional, dan sosial.

(6). Standar pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima

Standar Sarana dan Prasarana

Pasal 9

(1). Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup persyaratan minimal tentang lahan, ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi, ruang kegiatan pendidikan, perabot, alat dan media pendidikan, buku, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

(2). Standar sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam

Standar Pengelolaan

Pasal 10

(1). Standar pengelolaan mencakup persyaratan minimal pengelolaan organisasi pada satuan pendidikan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan kegiatan pendidikan dan sumberdaya pendidikan berupa ketenagaan, sarana dan prasarana, dan pembiayaan pendidikan.

(2). Standar pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar nasional pendidikan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

(3). Standar pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan standar nasional pendidikan dengan memperhatikan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.

(4). Standar pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Standar Pendanaan

Pasal 11

(1). Standar pendanaan mencakup persyaratan minimal tentang biaya satuan pendidikan, prosedur dan mekanisme pengelolaan, pengalokasian, dan akuntabilitas penggunaan biaya pendidikan.

(2). Standar pendanaan terdiri atas biaya pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, dan manajemen penyelenggaraan serta peningkatan mutu pendidikan.

(3). Setiap satuan pendidikan wajib memenuhi standar pendanaan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan pendidikan sesuai standar nasional pendidikan.

(4). Standar pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan

Standar Penilaian Pendidikan

Pasal 12

(1). Standar penilaian pendidikan mencakup persyaratan minimal tentang jenis penilaian, metode, prosedur, mekanisme, alat dan pemanfaatan hasil penilaian.

(2). Standar penilaian pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan

Badan Standardisasi dan Evaluasi Pendidikan

Pasal 13

(1). Dalam rangka pengembangan, pemantauan, pelaporan dan pencapaian standar secara nasional dibentuk Badan Standardisasi dan Evaluasi Pendidikan di tingkat pusat dan lembaga penjamin mutu pendidikan di tingkat provinsi.

(2). Kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi, tata kerja, dan keanggotaan Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Pasal 14

(1). Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan merupakan lembaga yang mandiri dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada Presiden.

(2). Lembaga penjaminan mutu pendidikan merupakan lembaga yang mandiri dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Bagian Kesepuluh

Lembaga Evaluasi Mandiri

Pasal 15

(1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga evaluasi mandiri baik bersifat nasional ataupun daerah.

(2). Lembaga evaluasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(3). Dalam melaksanakan evaluasi, lembaga evaluasi mandiri mengikuti sistem, mekanisme, prosedur, dan tata cara penilaian yang baku sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi dan Evaluasi Pendidikan.

(4). Lembaga evaluasi mandiri wajib memberikan laporan hasil evaluasi kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan yang dievaluasi.

BAB III

EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI

Bagian Pertama

Evaluasi

Pasal 16

(1). Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan secara berkala dan terbuka dalam rangka peningkatan mutu layanan pendidikan.

(2). Pemerintah melakukan evaluasi terhadap lembaga dan program pendidikan secara berkala dan terbuka dalam rangka peningkatan mutu layanan pendidikan.

(3). Evaluasi lembaga pendidikan meliputi peserta didik, sarana dan prasarana, pendidik, dan tenaga kependidikan, pendanaan, dan pengelolaan pendidikan.

(4). Evaluasi program pendidikan meliputi perencanaan dan keterlaksanaan program pendidik.

(5). Dalam melaksanakan evaluasi, Pemerintah dan pemerintah daerah mengikuti sistem, mekanisme, prosedur, dan tata cara penilaian yang baku sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

Pasal 17

(1). Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik dengan mengacu pada standar kompetensi .

(2). Evaluasi hasil belajar peserta didik bertujuan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar berdasarkan pada tahap perkembangan peserta didik.

(3). Evaluasi hasil belajar peserta didik dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan yang hasilnya dilaporkan kepada guru, sekolah, orang tua, pengelola pendidik dan masyarakat secara berkala.

(4). Evaluasi hasil belajar peserta didik ditujukan untuk memperbaiki proses pembelajaran, serta mengukur prestasi belajar peserta didik.

(5). Evaluasi hasil belajar peserta didik didasarkan pada prinsip objektivitas, keterbukaan, dan kejujuran.

(6). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh masing-masing satuan pendidik.

(7). Evaluasi hasil belajar peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dapat dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan, atau lembaga evaluasi mandiri.

(8). Evaluasi terhadap hasil belajar peserta pada akhir jenjang pendidikan ujian dilakukan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

Pasal 18

(1). Ujian akhir sekolah/madrasah mencakup semua mata pelajaran yang diselenggarakan oleh setiap jenis dan jenjang pendidikan

(2). Ujian akhir setiap jenis dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan dan standar penilaian pendidikan yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

(3). Biaya pelaksanaan ujian akhir ditanggung oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(4). Ketentuan mengenai ujian akhir setiap jenis dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 19

(1). Peserta didik dan warga belajar mandiri yang dinyatakan lulus dalam ujian akhir sekolah/madrasah berhak memperoleh ijazah.

(2). Ijazah peserta didik atau siswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan blanko yang baku secara nasional.

(3). Ketentuan mengenai ijazah sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Akreditasi

Pasal 20

(1). Akreditasi dilakukan untuk menentukan tingkat kelayakan program dan satuan pendidikan.

(2). Hasil akreditasi digunakan dan sebagai alat pembinaan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan layanan pendidikan.

(3). Akreditasi dilakukan atas prakarsa pemerintah dan/atau satuan pendidikan yang bersangkutan.

(4). Akreditasi diselenggarakan berdasarkan prinsip keadilan, obyektif, akuntabel, komprehensif, profesional, memandirikan, dan mandatori.

(5). Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal yang mandiri.

(6). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Menteri.

(7). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal menetapkan sistem, mekanisme, prosedur, kriteria, dan tata cara akreditasi.

(8). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal menetapkan persyaratan kelembagaan akreditasi pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dan/atau asosiasi profesi.

(9). Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria masukan, proses, dan keluaran yang mencakup:

a. Kurikulum dan proses pembelajaran;

b. Administrasi dan manajemen;

c. Organisasi kelembagaan;

d. Sarana dan prasarana;

e. Ketenagaan;

f. Pembiayaan;

g. Peserta didik;

h. Peran serta masyarakat; dan

i. Lingkungan/kultur satuan pendidikan.

Pasal 21

(1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga akreditasi pendidikan yang bersifat mandiri.

(2). Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(3). Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan akreditasi sesuai dengan sistem, mekanisme, prosedur, kriteria, dan tata cara yang dikeluarkan oleh badan akreditasi yang dibentuk oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (4).

(4). Dalam melaksanakan kegiatannya lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengakuan kelayakan dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, atau Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal sesuai dengan kewenangannya.

(5). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, atau Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal sesuai dengan kewenangannya, atas nama Menteri melakukan pengakuan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga mandiri yang melakukan akreditasi.

Pasal 22

(1). Keanggotaan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Pendidikan Nonformal terdiri atas unsur pemerintah, perguruan tinggi, sekolah/madrasah/pesantren, asosiasi profesi, dan masyarakat.

(2). Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi, Badan Akreditasi Sekolah Nasional, dan Badan Akreditasi Pendidikan Nonformal bertanggung jawab kepada Menteri.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai badan akreditasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga

Sertifikasi

Pasal 23

(1). Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

(2). Warga belajar mandiri dapat memperoleh ijazah yang sama dengan pendidikan formal setelah lulus ujian yang dipersiapkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan dan pelaksanaannya dilakukan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

(3). Sertifikat kompetensi diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap kompetensi pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri.

(4). Warga belajar mandiri dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang sama dengan pendidikan formal ataupun nonformal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi mandiri.

(5). Ketentuan mengenai ijazah dan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

BAB IV

KETENTUAN LAIN

Pasal 24

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan pendidikan nasional yang memiliki keragaman dalam kualitas maupun kemampuan daerah, maka penerapan standar nasional pendidikan dilakukan secara bertahap dengan memprioritaskan aspek esensial yaitu tenaga kependidikan, pembiayaan dan peserta didik.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 25

(1). Pada waktu diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini, semua ketentuan yang berhubungan dengan Standardisasi Nasional Pendidikan dinyatakan berlaku sepanjang belum diubah dengan Peraturan Pemerintah ini.

(2). Lembaga pendidikan, pendidik dan tenaga pendidikan, dan pengelola pendidikan secara bertahap menyesuaikan kepada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26

Semua peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat 1 tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 27

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada Tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Diundangkan di Jakarta

Pada Tanggal

Menteri Negara Sekretaris Negara

Republik Indonesia,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR .. TAHUN ..

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR .… TAHUN .…

TENTANG

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

I. UMUM

Pembaharuan sistem pendidikan nasional yang diwujudkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menetapkan visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional serta strategi pembangunan pendidikan nasional. Kebutuhan warga negara Indonesia terhadap pendidikan nasional yang bermutu tinggi perlu diakomodasi dengan visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional serta strategi pembangunan pendidikan yang jelas dan tegas.

Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Misi pendidikan nasional adalah sebagai berikut:

1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;

2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;

3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;

4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.

Perwujudan visi dan misi pendidikan nasional memerlukan strategi pembangunan pendidikan nasional yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;

2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;

3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;

4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;

5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;

6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;

7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;

8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;

9. pelaksanaan wajib belajar;

10.pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;

11.pemberdayaan peran masyarakat;

12.pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan

13.pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Visi dan misi pendidikan nasional, strategi pembangunan pendidikan nasional, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, serta Pasal 35 UU No. 20 Tahun 2003 menjadi tonggak yang kuat dan kokoh untuk mencapai puncak keunggulan pendidikan nasional dan meraih hasil pendidikan nasional yang bermutu tinggi.

Sehubungan dengan hal-hal di atas perlu diupayakan agar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan distandardisasi secara nasional. Dengan adanya standar-standar yang baku dalam pendidikan merupakan jaminan untuk selalu berupaya meningkatkan mutu pendidikan secara berencana dan berkala.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Dalam menentukan standar kompetensi lulusan pendidikan keagamaan ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Persyaratan kualifikasi adalah prasyarat prajabatan dan penguasaan kompetensi adalah kelayakan.

Ayat (2)

Sertifikat kompetensi yang harus dimiliki pendidik dan tenaga kependidikan dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi.

Ayat (3)

Uji kompetensi yang dimaksud pada ayat ini meliputi uji kompetensi akademik, profesional, dan sosial.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Lembaga evaluasi mandiri merupakan lembaga yang menguji peserta didik dalam mencapai kompetensi lulusan yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Ujian akhir merupakan hak semua peserta didik yang atau yang belajar mandiri untuk memperoleh ijazah sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi mengakreditasi pendidikan tinggi.

Badan Akreditasi Nasional Sekolah mengakreditasi pendidikan anak usia dini (TK dan RA) pendidikan dasar dan menengah (SD dan MI, SMP dan MTs, SMA dan MA, SMK dan MAK, dan bentuk lain yang sederajat.

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal mengakreditasi pendidikan nonformal.

Mandiri yang dimaksud pada ayat ini adalah penyelenggaraan dan pengambilan keputusan akreditasi tidak dipengaruhi oleh siapapun.

Ayat (6)

Cukup Jelas.

Ayat (7)

Cukup Jelas.

Ayat (8)

Cukup Jelas.

Ayat (9)

Cukup Jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Masyarakat dan/atau organisasi profesi adalah masyarakat dan/atau organisasi profesi yang bergerak di bidang pendidikan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi melakukan pengakuan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga mandiri yang melakukan akreditasi pendidikan tinggi.

Badan Akreditasi Sekolah Nasional Pendidikan melakukan pengakuan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga mandiri yang melakukan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal melakukan pengakuan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga mandiri yang melakukan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Ijazah pendidikan antara lain terdiri atas ijazah SD/MI dan bentuk lain yang sederajat, ijazah SMP/MTs dan bentuk lain yang sederajat, ijazah SMA/MA dan bentuk lain yang sederajat, ijazah SMK/MAK dan bentuk lain yang sederajat, ijazah akademik, ijazah profesi, ijazah vokasi, ijazah keagamaan, dan ijazah pendidikan khusus,

Ujian yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi dilakukan dengan mengacu kepada komptensi lulusan yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan.

Format ijazah dibakukan secara nasional.

Ayat (2)

Warga negara yang belajar mandiri dapat mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah yang setara dengan jenjang pada Paket A, Paket B, dan Paket C pada jalur nonformal. Warga negara yang melaksanakan belajar mandiri tidak perlu memasuki program paket maupun persekolahan.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Ditetapkan di Jakarta

Pada Tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Diundangkan di Jakarta

Pada Tanggal

Menteri Negara Sekretaris Negara

Republik Indonesia,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR .. TAHUN ..

Senin, 24 Maret 2008

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG SUBSIDI SILANG BIAYA OPERASIONAL PERGURUAN TINGGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, Menimbang : a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, dan perdamaian abadi dan keadilan sosial; b. bahwa salah satu upaya yang harus ditempuh dalam mencerdasakan kehidupan bangsa adalah memberikan layanan pendidikan bermutu kepada semua warga Negara, antara lain melalui pengaturan biaya pendidikan melalui subsidi silang bagi mereka yang tidak mampu; c. bahwa untuk maksud tersebut di atas, perlu ditetapkan Peraturan Menteri tentang Subsidi Silang Biaya Operasional Perguruan Tinggi; Mengingat : 1. Pasal 4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945: 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik 1
Indonesia Tahun 1999 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3859); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3860); 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja departemen sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG SUBSIDI SILANG BIAYA OPERASIONAL PERGURUAN TINGGI Pasal I Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Subsidi silang operasional perguruan tinggi adalah subsidi yang diberikan oleh peserta didik yang mampu secara finansial kepada peserta didik yang tidak mampu secara finansial, dalam menanggung biaya operasi perguruan tinggi. 2. Biaya operasi perguruan tinggi adalah biaya untuk memberikan pelayanan pendidikan tinggi, tidak termasuk investasi pada prasarana, sarana, dan modal kerja tetap dan biaya pendidikan personal yang harus ditanggung oleh peserta didik. 3. Perguruan tinggi adalah universitas, institut, sekolah tinggi, polteknik, atau akademi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Pasal 2 (1) Subsidi silang biaya operasi perguruan tinggi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan membantu
2
pendanaan pendidikan bagi peserta didik yang tidak mampu finansial tetapi mampu secara akademik. (2) Tujuan subsidi silang biaya operasi perguruan tinggi adalah terselenggaranya pelayanan pendidikan yang bermutu bagi peserta didik yang tidak mampu secara finansial. Pasal 3 (1) Peserta didik yang tidak mampu secara finansial tetapi mampu secara akademik mendapatkan subsidi silang biaya operasi perguruan tinggi. (2) Peserta didik yang mampu secara finansial dibebani biaya operasi perguruan tinggi yang sama dengan atau lebih dari biaya operasi perguruan tinggi per peserta didik. (3) Pemberian subsidi silang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk menjamin akses peserta didik untuk memperoleh kesempatan belajar pada perguruan tinggi. Pasal 4 (1) Struktur pembayaran subsidi silang biaya operasi perguruan tinggi diatur sebagai berikut : a. Pembayaran biaya operasi perguruan tinggi diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu : 1) peserta didik yang membayar sebesar biaya operasi perguruan tinggi per peserta didik; 2) peserta didik yang membayar di atas biaya operasi perguruan tinggi per peserta didik; 3) peserta didik yang membayar di bawah biaya operasi perguruan tinggi per peserta didik; 4) peserta didik yang dibebankan dari membayar operasi pendidikan. b. Proporsi peserta didik dari empat kelompok sebagaimana tersebut pada huruf a disesuaikan dengan kondisi perguruan tinggi. (2) Biaya operasi perguruan tinggi adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi perguruan tinggi agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan secara teratur dan berkelanjutan, dan terdiri dari : a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, b. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan c. Biaya operasi pendidikan tak langsung seperti daya, air, jasa, telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur,transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, penyusutan sarana dan prasrana, dan lain sebagainya. (3) Biaya operasi perguruan tinggi per peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan, dengan mengacu pada standar biaya operasi perguruan tinggi. (4) Menteri Pendidikan Nasional menetapkan standar biaya operasi perguruan tinggi (5) Pengelolaan subsidi silang biaya operasi perguruan tinggi dilaksanakan secara transparan dan akuntabel dan diserahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi Pasal 5 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Januari 2005 MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL. TTD. BAMBANG SUDIBYO 4
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG
STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 27 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tatakerja
Kementrian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
Biro Hukum dan Organisasi 2006
2
Memperhatikan : Surat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor
0141/BSNP/III/2006 tanggal 13 Maret 2006, Nomor
0212/BSNP/V/2006 tanggal 2 Mei, dan Nomor
0225/BSNP/V/2006 tanggal 10 Mei 2006;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK
SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal 1
(1) Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan
kelulusan peserta didik.
(2) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan
menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran,
dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.
(3) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2003
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASlONAL
REPUBLlK INDONESlA

NOMOR 38 TAHUN 2006
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERPANJANGAN BATAS USIA PENSlUN
GURU BESAR DAN PENGANGKATAN GURU BESAR EMERITUS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASlONAL,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka pendayagunaan guru besar yang masih potensial dan produktif
secara efisien berdasarkan prinsip keterbukaan perlu mengatur kembali
persyaratan dan tata cara perpanjangan batas usia pensiun Guru Besar dan
pengangkatan Guru Besar Emeritus;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Persyaratan dan Tata
Cara Perpanjangan Batas Usia Pensiun Guru Besar dan Pengangkatan Guru Besar
Emeritus;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran
Negara Republik lndonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999
Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor - 3149) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994, Nomor 1);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3859);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum
Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3860);
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2005;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Kabinet
Indonesia Bersatu, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA
PERPANJANGAN BATAS USlA PENSlUN GURU BESAR DAN PENGANGKATAN GURU BESAR EMERITUS.

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Senat Perguruan Tinggi adalah senat perguruan tinggi pada perguruan tinggi
yang belum Badan Hukum Milik Negara;
2. Senat Akademik adalah senat akademik pada perguruan tinggi Badan Hukum Milik
Negara;
3. Jurusan adalah jurusan pada perguruan tinggi yang belum Badan Hukum Milik
Negara;
4. Departemen adalah departemen pada perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara;

Pasal 2

(1) Batas usia pensiun Guru Besar dapat diperpanjang sampai dengan usia 70 (tujuh
puluh) tahun.
(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu
1 (satu) tahun.
(3) Setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah yang
bersangkutan memenuhi persyaratan dan tata cara perpanjangan usia pensiun.
(4) Batas usia pensiun Guru Besar dapat diperpanjang apabila yang bersangkutan
memenuhi persyaratan sebagai berikut
a. berpendidikan Doktor (S-3);
b. menduduki jabatan Guru Besar sekurang-kurangnya 2 tahun;
c. merupakan satu-satunya Guru Besar dan diperlukan pada program studi/
jurusan/departemen pada perguruan tinggi yang bersangkutan;
d. mempunyai integritas dan prestasi keilmuan yang dibuktikan dengan
1. mengajar minimal 12 (duabelas) satuan kredit semester (SKS)
persemester selama 2 (dua) tahun terakhir pada program S-1, S-2,
dan/atau S-3 pada perguruan tinggi yang bersangkutan;
2. membimbing mahasiswa S-2 dan/atau S-3 minimal 3 orang selama 2
(dua) tahun terakhir pada perguruan tinggi yang bersangkutan;
e. sehat jasmani dan rokhani untuk meiaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi
yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Tim Penguji Kesehatan Pegawai
Negeri Sipil;
f. memiliki Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dua tahun terakhir
dengan nilai sekurang-kurangnya baik untuk semua unsur; dan
g. mendapat persetujuan senat perguruan tinggi atau senat akademik dan
diusulkan oleh rektor/ketua sekolah tinggi.
(5) Tata cara pengusulan perpanjangan batas usia pensiun Guru Besar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a. Ketua Jurusan bersama staf jurusan membahas perlunya perpanjangan pensiun
Guru Besar dan mengkaji pemenuhan persyaratan perpanjangan batas usia
pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan mengusulkan pada rektor/ketua
sekolah tinggi .
b. Rektor/ketua sekolah tinggi dengan berdasarkan persetujuan senat perguruan
tinggi atau senat akademik dapat menolak atau mengajukan usul perpanjangan
batas usia pensiun Guru Besar kepada Menteri Pendidikan Nasional selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan sebelum Guru Besar yang bersangkutan
mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun dengan melampirkan:
1. Surat keterangan kesehatan jasmani dan rohani dari Tim Penguji Kesehatan
Pegawai Negeri Sipil;
2. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dua tahun terakhir;
3. Surat persetujuan senat perguruan tinggi atau senat akademik.

Pasal 3

(1) Usul perpanjangan batas usia pensiun Guru Besar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (5) huruf b, disampaikan kepada Menteri Pendidikan Nasional
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
(2) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi atas dasar tembusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), memberikan pertimbangan kepada Menteri Pendidikan Nasional
atau menolak dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4).
(3) Berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Menteri
Pendidikan Nasional menyetujui atau menolak usul perpanjangan batas usia
pensiun Guru Besar selambat-lambatnya 4 (empat) bulan sebelum Guru Besar
mencapai batas usia pensiun.

Pasal 4

(1) Guru Besar yang telah mengakhiri masa jabatannya karena pensiun dapat diangkat
kembali menjadi Guru Besar Emeritus di perguruan tinggi yang bersangkutan
sebagai penghargaan istimewa dari senat perguruan tinggi atau senat akademik
setelah memenuhi persyaratan dan prosedur tata cara pengangkatan Guru Besar
Emeritus.
(2) Persyaratan pengangkatan Guru Besar Emeritus meiiputi :
a. sehat jasmani dan rokhani yang dibuktikan dengan surat keterangan dari
dokter;
b. mampu melaksanakan tugas mengajar dan penelitian;
c. mendapat persetujuan senat perguruan tinggi atau senat akademik dan
diusulkan oleh rektor/ketua sekolah tinggi.
(3) Tata cara pengangkatan Guru Besar Emeritus sebagai berikut :
a. Ketua Jurusan bersama korp dosen membahas rencana pengangkatan dan mengkaji
pemenuhan persyaratan Guru Besar Emeritus yang diusulkan serta memberikan
pertimbangan kepada rektor/ketua sekolah tinggi.
b. Rektor/ketua sekolah tinggi dengan berdasarkan persetujuan senat perguruan
tinggi atau senat akademik dapat menolak atau mengajukan usul pengangkatan
Guru Besar Emeritus kepada Menteri Pendidikan Nasional dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dengan melampirkan:
1. surat jaminan bahwa semua konsekuensi biaya akibat penetapan Guru Besar
Emeritus menjadi tanggung jawab perguruan tinggi;
2. kelengkapan persyaratan sebagai Guru Besar Emeritus.

Pasal 5

(1) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi atas dasar tembusan surat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b memberikan pertimbangan kepada Menteri
Pendidikan Nasional atau menolak dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Pendidikan Nasional menyetujui atau menolak
usul pengangkatan.

Pasal 6

Tata cara perpanjangan batas usia pensiun Guru Besar dan pengangkatan Guru Besar
Emeritus dari perguruan tinggi' yang diselenggarakan oleh Departemen Iain atau
Lembaga Pemerintah Non Departemen berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 sampai dengan Pasal 5, ciengan ketentuan usulan yang bersangkutan diajukan
oleh Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggungjawab
atas penyelenggaraan perguruan tinggi yang bersangkutan kepada Menteri Pendidikan
Nasional.

Pasal 7

(1) Tata cara perpanjangan batas usia pensiun untuk Guru Besar yang dipekerjakan
pada perguruan tinggi swasta, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) harus diusulkan oleh penyelenggara perguruan tinggi
berdasarkan usul rektor/ketua sekolah tinggi yang bersangkutan kepada Menteri
Pendidikan Nlasional melalui Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta.
(2) Usul Perpanjangan batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
lampirannya ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Pasai 8

(1) Perpanjangan batas usia pensiun pegawai negeri sipil (PNS) yang menjabat Guru
Besar dan pengangkatan Guru Besar Emeritus pada perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional.
(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat paling sedikit
dalam rangkap 7 (tujuh) dan ditembuskan kepada:
a. Presiden;
b. Kepala Badan Kepegawaian Negara;
c. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi;
d. Kepala Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara;
e. Pimpinan Perguruan Tinggi yang bersangkutan;
f. Kepala Biro Kepegawaian Departemen Pendidikan Nasional.

Pasal 9

(1) Guru Besar yang diangkat sebagai Guru Besar Emeritus berhak;
a. memanfaatkan sarana, prasarana dan fasilitas kerja sesuai dengan
penugasan oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan;
b. membimbing dosen dan mengajar mahasiswa program pascasarjana;
c. memberi saran/pertimbangan kepada pimpinan perguruan tinggi;
(2) Guru Besar Emeritus tidak dapat diangkat sebagai :
a. unsur pimpinan perguruan tinggi atau senat perguruan tinggi pada perguruan
tinggi yang belum badan hukum milik negara;
b. unsur pimpinan perguruan tinggi, anggota Senat Akademik, anggota Dewan
Audit, atau anggota Majelis Wali Amanat yang mewakili perguruan tinggi
pada perguruan tinggi badan hukum milik negara.

Pasal 10

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 27 Tahun 2005 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perpanjangan Batas Usia
Pensiun Guru Besar dan Pengangkatan Guru Besar Emeritus dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 11

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2006

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

TTD

BAMBANG SUDIBYO

Guru Honorer Protes Menteri Pendidikan Nasional
Selasa, 28 Pebruari 2006 | 17:36 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Guru honorer yang tergabung dalam Serikat Guru Jakarta melakukan unjuk rasa di Departemen Pendidikan Nasional hari ini. Mereka menuntut Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

"Peraturan itu telah menciderai prinsip-prinsip keadilan," kata Supriyono, Ketua Serikat Guru Jakarta, kepada Tempo. Menurut dia, peraturan pemerintah itu menghambat guru honorer yang telah berusia di atas 35 tahun menjadi pegawai negeri karena ada syarat masa kerja minimal 5 tahun. Padahal, menurut perhitungan peraturan tadi, mereka hanya memiliki masa kerja 2 tahun 7 bulan.

Maka mereka menuntut pemerintah agar merevisi peraturan pemerintah dan mengangkat guru honorer secara otomatis bagi mereka yang telah memiliki masa kerja minimal 5 tahun. "Mereka sudah mengabdi," tutur Supriyono.

Sebelumnya, mereka gagal bertemu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, sebagai pihak yang memproduksi peraturan pemerintah ini. Pengunjuk rasa hanya diterima oleh staf Sumber Daya Manusia. Menteri Pendidikan nasional juga tak bersedia menemui mereka. Akhirnya, perwakilan berdialog dengan Sekretaris Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Bahrul Hayat, dan Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Bidang Komunikasi Publik, Teguh Juwarno.

Reza M

Anda bisa mengomentari berita ini melalui SMS. Ketik TIJAWABbrk74625komentar dan kirim ke 9333


Dari Arsip Majalah TEMPO
Ramai-ramai Ganti Posisi | 04 April 2005
Robohnya Sekolah Kami | 28 Maret 2005
Tergagap di Tingkat Lokal | 14 Maret 2005
Semalam Berdebat Kata | 28 Pebruari 2005
Berpacu Melawan Keterbatasan | 31 Januari 2005
Guru Autisme | 22 Desember 1998
Obral Gelar Terbentur Izin | 15 Desember 1998
Nasib Pak Guru, Pahit Selalu | 10 November 1998
Jika Pak Guru Naik Pangkat | 14 Juni 1999
Ayo, Ramai-Ramai Mendaftar | 24 Mei 1999
>>selengkapnya ::




Dari Koleksi Foto TEMPO | Under Development
Menteri Pendidikan Nasional, Abdul Malik Fadjar dalam jumpa pers tentang penyelengaraan pendidikan nasional, Jakarta, 24 Juni 2003. [TEMPO/ Imam Sukamto; K16A/278/2003; 20030728].
Abdul Malik Fadjar
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006
tentang
Materi Minimal dan
Prinsip Pen
1.Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
2.Beragam dan terpadu
3.Tanggap terhadap perkembangan iptek dan seni
4.Relevan dengan kebutuhan kehidupan
5.Menyeluruh dan berkesinambungan
6.Belajar sepanjang hayat
7.Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
gembangan
Prinsip Pelaksanaan Kurikulum
Kurikulum
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2006
TENTANG
PELAKSANAAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN
2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR
DAN MENENGAH DAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR KOMPETENSI
LULUSAN UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa agar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dapat
dilaksanakan di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah secara baik, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional tentang Pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
2
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tatakerja Kementrian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 62 Tahun 2005;
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 20/P Tahun 2005;
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah;
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI
PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN
DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN MENTERI
PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK
SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal 1
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan
menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah
sesuai kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan
pada :
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 36 sampai dengan Pasal 38;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan Pasal 5 sampai dengan Pasal 18, dan Pasal 25
sampai dengan Pasal 27;
3
c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah.
(2) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan
kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
dan Standar Kompentesi Lulusan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
(3) Pengembangan dan penetapan kurikulum tingkat satuan pendidikan
dasar dan menengah memperhatikan panduan penyusunan kurikulum
tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
(4) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengadopsi atau
mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah yang disusun oleh BSNP.
(5) Kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh kepala
satuan pendidikan dasar dan menengah setelah memperhatikan
pertimbangan dari Komite Sekolah atau Komite Madrasah.
Pasal 2
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menerapkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah mulai tahun ajaran
2006/2007.
(2) Satuan pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai menerapkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah paling
lambat tahun ajaran 2009/2010.
(3) Satuan pendidikan dasar dan menengah pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang telah melaksanakan uji coba kurikulum 2004 secara
4
menyeluruh dapat menerapkan secara menyeluruh Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah untuk semua tingkatan kelasnya
mulai tahun ajaran 2006/2007.
(4) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum melaksanakan uji
coba kurikulum 2004, melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah secara bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun,
dengan tahapan :
a. Untuk sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), dan sekolah dasar
luar biasa (SDLB):
- tahun I : kelas 1 dan 4;
- tahun II : kelas 1,2,4, dan 5;
- tahun III : kelas 1,2,3,4,5 dan 6.
b. Untuk sekolah menengah pertama (SMP), madrasah tsanawiyah (MTs),
sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah
menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah kejuruan (MAK), sekolah
menengah pertama luar biasa (SMPLB), dan sekolah menengah atas
luar biasa (SMALB) :
- tahun I : kelas 1;
- tahun II : kelas 1 dan 2;
- tahun III : kelas 1,2, dan 3.
(5) Penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan setelah mendapat izin Menteri Pendidikan Nasional.
Pasal 3
(1) Gubernur dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan
menengah dan satuan pendidikan khusus, disesuaikan dengan kondisi
dan kesiapan satuan pendidikan di provinsi masing-masing.
(2) Bupati/walikota dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
5
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan dasar,
disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan di
kabupaten/kota masing-masing.
(3) Menteri Agama dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan
madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), madrasah aliyah
(MA), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), disesuaikan dengan kondisi
dan kesiapan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) BSNP melakukan pemantauan perkembangan dan evaluasi pelaksanaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, pada
tingkat satuan pendidikan, secara nasional.
(2) BSNP dapat mengajukan usul revisi Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan keperluan
berdasarkan pemantauan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 5
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah:
a. menggandakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, serta mendistribusikannya kepada setiap satuan pendidikan
secara nasional;
b. melakukan usaha secara nasional agar sarana dan prasarana satuan
pendidikan dasar dan menengah dapat mendukung penerapan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
6
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pasal 6
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan:
a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah, dan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan
pendidikan dasar dan menengah yang disusun BSNP, terhadap guru,
kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan lainnya yang relevan
melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan/atau Pusat
Pengembangan dan Penataran Guru (PPPG);
b. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah, dan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan
pendidikan dasar dan menengah yang disusun BSNP kepada dinas
pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, dan dewan
pendidikan;
c. membantu pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam penjaminan mutu
satuan pendidikan dasar dan menengah agar dapat memenuhi Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, melalui LPMP.
Pasal 7
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional:
a. mengembangkan model-model kurikulum sebagai masukan bagi BSNP;
b. mengembangkan dan mengujicobakan model-model kurikulum inovatif;
c. mengembangkan dan mengujicobakan model kurikulum untuk pendidikan
layanan khusus;
d. bekerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau LPMP melakukan
pendampingan satuan pendidikan dasar dan menengah dalam
pengembangan kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah;
e. memonitor secara nasional penerapan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
7
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mengevaluasinya, dan
mengusulkan rekomendasi kebijakan kepada BSNP dan/atau Menteri;
f. mengembangkan pangkalan data yang rinci tentang pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pasal 8
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi:
a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah, di kalangan lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK);
b. memfasilitasi pengembangan kurikulum dan tenaga dosen LPTK yang
mendukung pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Pasal 9
Sekretariat Jenderal melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, kepada pemangku kepentingan umum.
Pasal 10
Departemen lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan dasar dan
menengah :
a. melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah sesuai dengan kewenangannya dan berkoordinasi dengan
Departemen Pendidikan Nasional;
8
b. mengusahakan secara nasional sesuai dengan kewenangannya agar
sarana, prasarana, dan sumber daya manusia satuan pendidikan yang
berada di bawah kewenangannya mendukung pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
c. melakukan supervisi, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 11
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan :
a. Nomor 060/U/1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar;
b. Nomor 061/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Umum;
c. Nomor 080/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan; dan
d. Nomor 0126/U/1994 tentang Kurikulum Pendidikan Luar Biasa;
dinyatakan tidak berlaku bagi satuan pendidikan dasar dan menengah sejak
satuan pendidikan dasar dan menengah yang bersangkutan melaksanakan
Peraturan Menteri ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juni 2006
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO

Minggu, 23 Maret 2008


Index

Pengantar

Sistem pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang bersumber dari norma-norma tinggi insani wahyu yang berasal dari Allah swt yang telah mencetak pribadi agung Rasulullah SAWW, seperti yang beliau sabdakan:

أدبني ربي فأحسن تأديبـي

“Tuhanku telah mendidikku dengan pendidikan yang sangat sempurna”

Padahal masyarakat tempat Nabi Muhammad SAWW dibangkitkan adalah masyarakat jahiliyyah yang tidak mengenal nilai maknawi dan norma insani sama sekali. Dari masyarakat seperti itu, Rasulullah SAWW bangkit dan dalam tempo yang relatif singkat mencetak manusia-manusia pilihan yang mendapat gelar umat terbaik.

Salah satau sarana yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAWW dalam menjalankan tugas Tuhannya ini adalah akhlaq beliau yang sangat luhur dan loyalitas beliau pada norma-norma insani, sehingga Allah swt menyebutnya dengan

وإنك لعلى خلق عظيم

“Sungguh engkau memiliki akhlaq yang sangat tinggi”

Jika kita dengan seksama memperhatikan sabda dan ajaran yang beliau berikan, maka kita akan dengan mantap mengatakan bahwa sabda dan ajaran beliau merupakan ajaran terbaik yang dapat dijadikan pegangan hidup dan pedoman dalam mencetak generasi teladan.

Dalam sebuah hadis beliau bersabda:

الولد الصالح ريحانة من رياحين الجنة

“Anak yang shaleh adalah bunga surga”

Hadis beliau yang lain:

من قبّل ولده كتب الله عزّوجلّ له حسنة ... ومن علّمه القرآن دعي بالأبوين فيكسيان حلّتين يضيء من نورهما أهل الجنّة

“Orang yang mencium anaknya akan diberi oleh Allah satu kebajikan… Orang yang mengajarkan kepada anaknya Al-Qur’an maka kelak di hari kiamat ia akan dipanggil dan diberi dua helai pakaian yang memancarkan cahaya kepada seluruh penghuni surga”

Dari kedua hadis di atas dan hadis-hadis lainnya, kita saksikan betapa kata-kata beliau SAWW menebarkan rasa kasih sayang dan cinta yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak dalam masa perkembangannya agar kelak menjadi insan yang ideal dan teladan di tengah masyarakat.

Dari sini, yayasan Imam Ali a.s. dengan mempersem-bahkan kepada pembaca buku kecil yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini, berharap agar buku ini dapat menjadi petunjuk untuk mengkaji sistem pendidikan dalam agama Islam, sebagai bentuk dari pelaksanaan tugas agung yang diemban oleh yayasan dalam menyebarkan ilmu-ilmu Islam dengan sebaik-baiknya.

Yayasan Imam Ali as

Prinsip Pengembangan Media Pendidikan - Sebuah Pengantar -

21 03 2006

Pengantar
Semakin sadarnya orang akan pentingnya media yang membantu pembelajaran sudah mulai dirasakan. Pengelolaan alat bantu pembelajaran sudah sangat dibutuhkan. Bahkan pertumbuhan ini bersifat gradual. Metamorfosis dari perpustakaan yang menekankan pada penyediaan meda cetak, menjadi penyediaan-permintaan dan pemberian layanan secara multi-sensori dari beragamnya kemampuan individu untuk mencerap informasi, menjadikan pelayanan yang diberikan mutlak wajib bervariatif dan secara luas.Selain itu,dengan semakin meluasnya kemajuan di bidang komunikasi dan teknologi, serta diketemukannya dinamika proses belajar, maka pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pengajaran semakin menuntut dan memperoleh media pendidikan yang bervariasi secara luas pula.

Karena memang belajar adalah proses internal dalam diri manusia maka guru bukanlah merupakan satu-satunya sumber belajar, namun merupakan salah satu komponen dari sumber belajar yang disebut orang. AECT (Associationfor Educational Communication and Technology) membedakan enam jenis sumber belajar yang dapat digunakan dalam proses belajar, yaitu:

  1. Pesan; didalamnya mencakup kurikulum (GBPP) dan mata pelajaran.
  2. Orang; didalamnya mencakup guru, orang tua, tenaga ahli, dan sebagainya.
  3. Bahan;merupakan suatu format yang digunakan untuk menyimpan pesan pembelajaran,seperti buku paket, buku teks, modul, program video, film, OHT (over head transparency), program slide,alat peraga dan sebagainya (biasa disebut software).
  4. Alat; yang dimaksud di sini adalah sarana (piranti, hardware) untuk menyajikan bahan pada butir 3 di atas. Di dalamnya mencakup proyektor OHP, slide, film tape recorder, dan sebagainya.
  5. Teknik; yang dimaksud adalah cara (prosedur) yang digunakan orang dalam membeikan pembelajaran guna tercapai tujuan pembelajaran. Di dalamnya mencakup ceramah,permainan/simulasi, tanya jawab, sosiodrama (roleplay), dan sebagainya.
  6. Latar (setting) atau lingkungan; termasuk didalamnya adalah pengaturan ruang, pencahayaan, dan sebagainya.

Bahan & alat yang kita kenal sebagai software dan hardware tak lain adalah media pendidikan.

Media Pendidikan
Kata media berasal dari bahasa Latin yang adalah bentuk jamak dari medium batasan mengenai pengertian media sangat luas, namun kita membatasi pada media pendidikan saja yakni media yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan pembelajaran.

Mengapa perlu media dalam pembelajaran? Pertanyaan yang sering muncul mempertanyakan pentingnya media dalam sebuah pembelajaran.Kita harus mengetahui dahulu konsep abstrak dan konkrit dalam pembelajaran,karena proses belajar mengajar hakekatnya adalah proses komunikasi,penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata& tulisan) maupun non-verbal, proses ini dinamakan encoding. Penafsiran simbol-simbol komunikasi tersebut oleh siswa dinamakan decoding.

Ada kalanya penafsiran berhasil, adakalanya tidak.Kegagalan/ketidakberhasilan dalam memahami apa yang didengar, dibaca,dilihat atau diamati. Kegagalan/ketidakberhasilan atau penghambat dalam proses komunikasi dikenal dengan istilah barriers atau noise. Semakin banyak verbalisme semakin abstrak pemahaman yang diterima.
Lantas dimana fungsi media? Ada baiknya kita melihat diagram cone of learning dari Edgar Dale yang secara jelas memberi penekanan terhadap pentingnya media dalam pendidikan:

cone_of_learning.jpg

Secara umum media mempunyai kegunaan:

  1. memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.
  2. mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra.
  3. menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.
  4. memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori & kinestetiknya.
  5. memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.

Selain itu, kontribusi media pembelajaran menurut Kemp and Dayton, 1985:

  1. Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar
  2. Pembelajaran dapat lebih menarik
  3. Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar
  4. Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek
  5. Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan
  6. Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun diperlukan
  7. Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan
  8. Peran guru berubahan kearah yang positif

Karakteristik dan kemampuan masing-masing media perlu diperhatikan oleh guru agar mereka dapat memilih media mana yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Sebagai contoh media kaset audio, merupakan media auditif yang mengajarkan topik-topik pembelajaran yang bersifat verbal seperti pengucapan (pronounciation) bahasa asing. Untuk pengajaran bahasa asing media ini tergolong tepat karena bila secara langsung diberikan tanpa media sering terjadi ketidaktepatan yang akurat dalam pengucapan pengulangan dan sebagainya. Pembuatan media kaset audio ini termasuk mudah, hanya membutuhkan alat perekam dan narasumber yang dapat berbahasa asing, sementara itu pemanfaatannya menggunakan alat yang sama pula.

Untuk itu perlu dicermarti daftar kelompok media instruksional menurut Anderson, 1976 berikut ini:

KELOMPOK MEDIA

MEDIA INSTRUKSIONAL

1.

Audio
  • pita audio (rol atau kaset)
  • piringan audio
  • radio (rekaman siaran)

2.

Cetak
  • buku teks terprogram
  • buku pegangan/manual
  • buku tugas

3.

Audio – Cetak
  • buku latihan dilengkapi kaset
  • gambar/poster (dilengkapi audio)

4.

Proyek Visual Diam
  • film bingkai (slide)
  • film rangkai (berisi pesan verbal)

5.

Proyek Visual Diam dengan Audio
  • film bingkai (slide) suara
  • film rangkai suara

6.

Visual Gerak
  • film bisu dengan judul (caption)

7.

Visual Gerak dengan Audio
  • film suara
  • video/vcd/dvd

8.

Benda
  • benda nyata
  • model tirual (mock up)

9.

Komputer
  • media berbasis komputer; CAI (Computer Assisted Instructional) & CMI (Computer Managed Instructiona

Klasifikasi & Jenis Media

KLASIFIKASI

JENIS MEDIA

Media yang tidak diproyeksikan Realia, model, bahan grafis, display
Media yang diproyeksikan OHT, Slide, Opaque
Media audio Audio K aset, Audio V ission, aktive Audio Vission
Media video Video
Media berbasis komputer Computer A ssisted I nstructional ( Pembelajaran Berbasis Komputer)
Multimedia kit Perangkat praktikum

Media yang Tidak Diproyeksikan

Realita : Benda nyata yang digunakan sebagai bahan belajar

Model : Benda tiga dimensi yang merupakan representasi dari benda
sesungguhnya

Grafis : Gambar atau visual yang penampilannya tidak diproyeksikan (Grafik, Chart, Poster, Kartun)

Display : Medium yang penggunaannya dipasang di tempat tertentu sehingga dapat dilihat informasi dan pengetahuan di dalamnya.

Media Video

Kelebihan

Dapat menstimulir efek gerak

Dapat diberi suara maupun warna

Tidak memerlukan keahlian khusus dalam penyajiannya.

Tidak memerlukan ruangan gelap dalam penyajiannya

Kekurangan

Memerlukan peralatan khusus dalam penyajiannya

Memerlukan tenaga listrik

Memerlukan keterampilan khusus dan kerja tim dalam pembuatannya

Media Berbasiskan Komputer

Bentuk interaksi yang dapat diaplikasikan

Praktek dan latihan (drill & practice)

Tutorial

Permainan (games)

Simulasi (simulation)

Penemuan (discovery)

Pemecahan Masalah (Problem Solving)

(Heinich,et.al 1996)

Kemajuan media komputer memberikan beberapa kelebihan untuk kegiatan produksi audio visual. Pada tahun-tahun belakangan komputer mendapat perhatian besar karena kemampuannya yang dapat digunakan dalam bidang kegiatan pembelajaran. Ditambah dengan teknologi jaringan dan internet, komputer seakan menjadi primadona dalam kegiatan pembelajaran.

Dibalik kehandalan komputer sebagai media pembelajaran terdapat beberapa persoalan yang sebaiknya menjadi bahan pertimbangan awal bagi pengelola pengajaran berbasis komputer:

  1. Perangkat keras -dan lunak- yang mahal dan cepat ketinggalan jaman
  2. Teknologi yang sangat cepat berubah, sangat memungkinkan perangkat yang dibeli saat ini beberapa tahun kemudian akan ketinggalan zaman.
  3. Pembuatan program yang rumit serta dalam pengoperasian awal perlu pendamping guna menjelaskan penggunaannya. Hal ini bisa disiasati dengan pembuatan modul pendamping yang menjelaskan penggunaan dan pengoperasian program.

Pemakaian Komputer dalam Proses Belajar
Sebelumnya perlu dijelaskan istilah CAI dan CMI yang digunakan dalam kegiatan belajar dengan komputer.

CAI; yaitu penggunaan komputer secara langsung dengan siswa untuk menyampaikan isi pelajaran, memberikan latihan dan mengetes kemajuan belajar siswa. CAI dapat sebagai tutor yang menggantikan guru di dalam kelas. CAI juga bermacam-macam bentuknya bergantung kecakapan pendesain dan pengembang pembelajarannya, bisa berbentuk permainan (games), mengajarkan konsep-konsep abstrak yang kemudian dikonkritkan dalam bentuk visual dan audio yang dianimasikan.

CMI; digunakan sebagai pembantu pengajar menjalankan fungsi administratif yang meningkat, seperti rekapitulasi data prestasi siswa, database buku/e-library, kegiatan administratif sekolah seperti pencatatan pembayaran, kuitansi dll.

Pada masa sekarang CMI & CAI bersamaan fungsinya dan kegiatannya seperti pada e-Learning, dimana urusan administrasi dan kegiatan belajar mengajar sudah masuk dalam satu sistem.

Pemakaian Komputer dalam Kegiatan Pembelajaran
Untuk Tujuan Kognitif
Komputer dapat mengajarkan konsep-konsep aturan, prinsip, langkah-langkah, proses, dan kalkulasi yang kompleks. Komputer juga dapat menjelaskan konsep tersebut dengan dengan sederhana dengan penggabungan visual dan audio yang dianimasikan. Sehingga cocok untuk kegiatan pembelajaran mandiri.

Untuk Tujuan Psikomotor
Dengan bentuk pembelajaran yang dikemas dalam bentuk games & simulasi sangat bagus digunakan untuk menciptakan kondisi dunia kerja. Beberapa contoh program antara lain; simulasi pendaratan pesawat, simulasi perang dalam medan yang paling berat dan sebagainya.

Untuk Tujuan Afektif
Bila program didesain secara tepat dengan memberikan potongan clip suara atau video yang isinya menggugah perasaan, pembelajaran sikap/afektif pun dapat dilakukan mengunakan media komputer.

PUSTAKA

Green L (1996). Creatives Silde/Tape Programs. Colorado: Libraries Unlimited, Inc. Littleton.

Hackbarth S. (1996). The Educational Technology Hanbook. New Jersey: Educational Technology Publication, Englewood Cliffs.

Hannafin, M. J., Peck, L. L. (1998). The Design Development and Education of Instructional Software. New York: Mc. Millan Publ., Co.

Heinich, R., et. al. (1996) Instructional Media and Technologies for Learning. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.

E. Dale, Audiovisual Method in Teaching, 1969, NY: Dyden Press

Bloom, S. Benyamin (1956). Taxonomy of Educational Objective The Classification of Educational Goal.