Selasa, 24 Juni 2008

Sun 11th Jun, 2006, Artikel

Seks Bebas Masuk Sekolah Salah Siapa?

oleh: Anas Nashrullah KH SH*

SYAHDAN, masyarakat Indonesia pada beberapa bulan terakhir ini dikejutkan oleh berita heboh, yang memalukan sekaligus mencoreng dunia pendidikan Indonesia. ’Praktek Seks Bebas Sebelas Siswa SMA 2 Cianjur Bersama Gurunya‘.

Sebuah lembaga yang semestinya mencetak generasi bangsa yang bermartabat dan bermoral, seorang guru menjadi sutradara sekaligus kameramen blue film dengan menghadirkan pemeran utama sebelas pasang anak muda berseragam abu-abu putih yang nota bene adalah siswanya.

Bagi Bupati Cianjur, kejadian ini merupakan pukulan hebat yang dialamatkan kepadanya, ini disebabkan kejadian asusila tersebut terjadi di jantung kota Kabupaten Cianjur Jawa Barat (tidak jauh dari Masjid Raya Cianjur), lebih tragisnya lagi kejadian ini terjadi di kota yang sedang mempersiapkan penerapan Syari‘at Islam, dengan mengusung slogan Gerbang Marhamah, bahkan disebutkan, Bupati Cianjur merekomendasikan kepala sekolah SMA 2 dicopot, karena dianggap tidak mampu membimbing dan membina anak didiknya (Republika, (25/11).

Mencuatnya kasus asusila tersebut, penulis berupaya menggaris bawahi dari pada indikator yang menyebabkan terjadinya prilaku yang menyimpang melalui pendekatan psikologis. Setidaknya ada beberapa indikator yang mengharuskan fenomena tersebut terjadi, diantaranya adalah pertama muatan materi agama yang masih minim.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya muatan materi pengetahuan agama pada kurikulum sekolah umum hanya diberikan dua jam saja dalam satu minggu. Mari kita bersepkulasi, andai saja dalam seminggu guru mengajarkan secara penuh materi agama, belum menjadi jaminan siswa memahami dan mempraktekkan dalam kehidupannya, apalagi jika dalam satu minggu guru tidak masuk atau hanya satu kali.

Materi/ajaran agama tidak saja melulu menerangkan masalah ubudiyah yang sifatnya wajib, atau doktrin jihad, namun lebih dari itu ajaran agama mengajarkan kita masalah moralitas, untuk berprilaku baik terhadap orang tua, keluarga, bergaul dengan komunitasnya dan orang banyak, menghargai sesama makhluk dan memprilakukan dengan baik lingkungan sekitarnya, terlebih mengenai hubungannya dengan Sang Pencipta. Karena pada dasarnya seluruh agama yang ada, tidak membenarkan ummatnya melakukan seks bebas secara berramai-ramai. Bukankah moralitas bangsa ditentukan oleh moralitas masyarakatnya?

Kedua doktrin hidup bebas dan serba glamour seolah menjadi ideologi anak muda. Pada masa muda, terlebih bagi keluarga yang berada, masa muda merupakan masa indah, yang disesalkan jika tidak dimanfaatkan dan dilewatkan meski sedetikpun.

Kebebasan merupakan ideologi dalam berprilaku, dan apa yang dilakukannya merupakan sebuah kebenaran. Gaya hidup mereka, disamping disebabkan kurangnya pengetahuan terhadap ajaran agama, juga kurangnya perhatian dari pihak keluarga, belum lagi serbuan yang menyerang imajinasi remaja usia labil yang terus memberondong dari mulai ia keluar rumah melalui gambar-gambar, pamlet, iklan-iklan di media cetak atau elektronik ditambah lagi dengan sajian sinetron remaja yang mereka tonton di televisi.

Keterjerumusan usia pelajar (baca: anak muda) pada dunia seks tidak dipungkiri merupakan hasil dari rasa keingintahuan terhadap seks itu sendiri, yang mereka dapatkan dari media-media, video cassete disk dan fasilitas lainnya. Yang tanpa disadari dengan sekali melakukan, ia akan terjerumus pada pecandu seks bebas.

Ketiga guru hanya sebagai pengajar bukan pendidik. Pada kondisi perekonomian Indonesia yang carut marut, harga bahan bakar dan bahan pokok melambung tinggi, sedangkan pendapatan bulanan hanya cukup untuk beberapa hari saja, tidak pelak lagi, kondisi ini
hanya akan mengantarkan masyarkat pada tahap kefrustasian. Tidak salah jika profesi seorang guru merupakan profesi pertama yang merasakan imbasnya.

Maka kemudian yang terjadi adalah, guru yang seyogyanya sebagai pendidik siswanya ûbaik di lingkungan maupun di luar sekolah, hanya berfungsi sebagai pengajar di kelas. Mari kita bicara jujur, hanya dengan beberapa ribu yang diterima oleh para guru, hanya mampu menghidupkan keluarganya selama beberap hari saja.

Kemudian pertanyaan yang timbul adalah dari mana mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya? Sekarang mari kita berapologi, fungsi seorang guru yang pengajar memiliki peran ganda dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya; biaya makan, biaya sekolah, transportasi ke sekolah, beli obat dan lainnya, yaitu di samping ia sebagai pengajar di kelas, juga ia sebagai pengojek yang (bisa jadi) menjemput siswanya pulang sekolah, mengantar orang tua murid ke pasar atau kantor.

Betul jika guru memiliki peran ganda, yaitu seorang pengajar juga pengojek. Maka kemudian pertanyaan yang timbul adalah, tanggung jawab siapa prilaku siswa di luar sekolah?
Keempat meski dianggap argumen klasik, tapi kadang problem yang ditimbulkan dalam keluarga mendominasi dari timbulnya prilaku menyimpang pada diri anak. Prilaku menyimpang anak usia pelajar tidak sepenuhnya kesalahan anak, tapi bisa saja disebabkan keharmonisan dalam keluarga mulai menipis dan menghilang.

Keributan orang tua di depan mata putra-putrinya sudah menjadi tontonan, layaknya mereka melihat adegan ribut dalam sinetron/film Indonesia. Tanpa disadari bahwa apa yang dilakukan orang tua di depan anaknya sudah menghancurkan psikolgis sang buah hati, maka dalam kondisi keputusasaan usia pelajar sangat mudah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, meskipun berakbiat fatal.

Dari pemaparan di atas penulis mengajak untuk bersepkulasi, lalu siapa yang patut disalahkan dengan kejadian seks bebas di kota gerbang marhamah tersebut? Sekolah yang memberi porsi agama sangat minim, pelajar yang mengikuti arus globalisasi hidup bebas, guru yang berpenghasilan sedikit kemudian berperan ganda, sebagai pengajar dan pengojek, atau aksi keributan orangtua di depan anaknya dan bersikap acuh terhadap anaknya?

Terlepas dari itu semua, sejenak kita merenungi harapan Menteri Pendidikan Nasionan Republik Indonesi yang disampaikan pada hari jadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di beberapa media eletronik, bahwa lembaga pendidikan seharusnya dapat melahirkan
generasi bangsa yang berintelektual tinggi dalam menghadapi dan menjawab tantangan di era globalisasi.

Lebih penting dari itu semua, seyogyanya pemerintah, guru dan orang tua mengambil pelajaran berharga dari kasus prilaku asusila sebelas siswa dan gurunya, dengan mewujudkan sebuah kemanunggalan yang tak terpisahkan dalam membentengi moral generasi bangsa dengan menunjang kebutuhan para pahlawan tanpa jasa, dan menjadi tauladan bagi putra-putri generasi penerus bangsa tersebut. (*)

Anas Nashrullah KH SH*, Direktur HARAMAIN Education Centre, Depok

http://www.bangkapos.com/opini.php?id=551

handpone !!!



Dimana peran pendidikan
siswa-siswi melakukan free-sexs di dalam kelas, hanphone dan sejenisnya dijadikan alat untuk mempublikasikan suatu hal yang sangat tidak pantas yang dilakukan seorang pelajar.

Stop Aktivitas Seks Bebas!

"TIDAK" ada pesta seks yang kami lakukan dalam kelas. Yang terjadi, teman
saya berciuman dengan pacarnya dan difoto dengan handphone milik saya. Tapi,
saat itu juga fotonya langsung dihapus dan tidak disebarkan," demikian
diungkapkan Mawar (18) --bukan nama sebenarnya--, salah seorang pelajar dari
sebuah sekolah ternama di Cianjur yang diduga terlibat dalam perbuatan mesum
yang melibatkan belasan pelajar dan seorang guru, saat ditemui Minggu
(20/11) malam ("PR", 22 November 2005).

Miris. Satu kata yang bisa keluar dari benak belia kala membaca berita di
atas. Semenjak beredar VCD porno "Bandung Lautan Asmara" tahun 2001 lalu,
Kota Bandung semakin marak dengan beredarnya banyak VCD serupa. Kasus di
atas adalah salah satu yang paling gres dari sekian banyak VCD porno yang
beredar.

Fenomena seks bebas yang terjadi di masyarakat sekarang, ternyata enggak
hanya melibatkan orang-orang dewasa. Pelajar seperti Belia, bisa saja jadi
salah satu yang terlibat. Keterlibatan pelajar dalam fenomena seks bebas
ini, tentunya bikin semua pihak geregetan. Entah itu orang tua, guru, pemuka
agama, tokoh masyarakat, bahkan dari pihak pelajar sendiri.

Seks bebas memang jadi momok yang menakutkan, khususnya bagi kalangan orang
tua. Iya lah. Hari gini, siapa yang enggak khawatir atas fenomena yang satu
ini. Free sex atau yang lazim disebut dengan seks bebas, sebenernya hanya
istilah yang populer di Indonesia. Seenggaknya, itu yang dibilang oleh
Morita Falyati (24), Koordinator Youth Clinic MCR PKBI Jawa Barat.

"Secara harfiah, free sex itu bisa berarti bebas seks. Dalam artian tidak
melakukan hubungan seks sama sekali, atau hubungan seks pre marital alias
seks sebelum pernikahan," urainya. Jelasnya, seks bebas itu adalah hubungan
seksual yang dilakukan bukan hanya pada satu pasangan, baik laki-laki maupun
perempuan.

Coba deh, tanya sama diri sendiri. Pernah enggak, Belia melakukan hubungan
seksual? Eits, jangan salah paham dulu, ya. Hubungan seksual ternyata
mempunyai arti yang luas dan banyak. Enggak hanya intercourse, yang baru
boleh dilakukan setelah Belia menikah nanti. "Pegangan tangan dengan lawan
jenis, itu sudah termasuk hubungan seksual," ujar Mbak Morita. Nah lho!

Pegangan tangan, lebih lanjut Mbak Morita menjelaskan, sudah termasuk
aktivitas seksual paling ringan yang sering dilakukan remaja saat ini.
"Setelah pegangan tangan, ada tahap meraba, kemudian kissing, necking,
petting, dan diakhiri dengan intercourse," lanjutnya.

Tahapan yang dinilai mulai memasuki area berbahaya adalah kissing. "Kissing
ini juga terbagi dalam dua kategori. Kategori basah dan kering. Kissing
kering itu seperti ciuman ke pipi atau ke kening. Sedangkan kategori basah
itu ciuman mouth to mouth. Selanjutnya, ada yang disebut necking (saling
merangsang daerah leher ke bawah, dengan rabaan atau ciuman), petting
(saling menggesekkan alat kelamin, dengan atau tanpa pakaian), dan terakhir
intercourse.

Dengan melakukan salah satu aktivitas seksual tersebut, meski yang paling
ringan sekalipun, Belia bisa terbawa ke jenjang yang lebih intens. Mungkin
awalnya hanya pegang tangan. Kemudian cium kening. Tapi selanjutnya, mungkin
Belia bisa terbawa suasana, dan hal yang (tidak) diinginkan pun terjadi.

Kesenangan yang hanya sesaat. Kalimat itu mungkin tepat untuk remaja yang
pernah terjerumus ke dalam fenomena seks bebas ini. Kalau boleh men-judge,
tidak ada dosa yang tak berbalas. Sama kayak seks bebas ini. Awalnya terasa
indah, dan enggak terlupakan. Tapi implikasinya? Siapa yang bisa tahu
dampaknya buat Belia. "Enggak sedikit, pelaku seks bebas ini mengalami hamil
di luar nikah, terkena penyakit menular seksual, bahkan sampai tertular
virus HIV. Selain itu, yang mengalami trauma berkepanjangan gara-gara
ditinggal pacar setelah ML juga banyak," terang Mbak Morita.

Trauma pascamelakukan seks bebas ini memang lazim terjadi. "Kebanyakan
mereka yang melakukan, belum tahu, atau tidak mau tahu tentang bahayanya
melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan. Keterbatasan pengetahuan
tentang seksual juga jadi salah satu penyebabnya," ungkap Mbak Morita lagi.

Selain itu semua, sifat mudah terpengaruh oleh orang lain dan ditambah
dengan rasa ingin tahu yang tinggi dari remaja, menambah maraknya kasus seks
bebas di kalangan remaja. Masalah seksualitas yang dulu dinilai tabu untuk
dibicarakan, ternyata sekarang malah dianggap penting untuk diketahui. "Seks
bebas ini kalau diibaratkan, seperti penyakit flu yang gampang menular.
Misalnya saja, satu orang bercerita kepada temannya tentang aktivitas
seksual yang dia lakukan dengan pacarnya, kemungkinan besar teman-teman yang
diceritain itu malah jadi kepengen," tambahnya.

Saat ini, pelajar SMA yang menghubungi MCR untuk konsultasi tentang masalah
seks bebas ini, didominsi oleh perempuan. "Tiga banding satu, lah. Cowoknya
lebih sedikit, mungkin karena buat mereka, akibatnya enggak terlalu kerasa,"
katanya. Risiko buat perempuan memang lebih berat lagi. Mesti menanggung
malu gara-gara mesti hamil di luar nikah, belum lagi kalau terdeteksi
mengidap penyakit menular seksual--ini bisa terjadi di kalangan laki-laki
juga. Bahkan, enggak sedikit juga perempuan yang terlanjur hamil di luar
nikah, memilih aborsi sebagai jalan pintas. "Ada yang setelah aborsi, baru
neghubungin kita untuk konsul. Terakhir, saya terima yang usia kandungannya
udah mencapai tujuh bulan," cerita Mbak Morita.

Risiko paling berat yang mungkin bakal diterima oleh pelaku seks bebas, tak
lain adalah tertular HIV dan kemudian AIDS. Yep. Salah satu media penularan
virus mematikan tersebut adalah dengan melakukan hubungan seksual tanpa
pengaman. Celakanya, jika seseorang tidak menyadari kalau dirinya tertular
virus HIV, dan kemudian dia melakukan hubungan seksual dengan orang yang
berbeda, berarti secara enggak langsung virus tersebut bisa menetap di
tubuhnya. Kalau sudah begini kan, jumlah orang yang tertular virus HIV bakal
semakin banyak.

Modu (26)--bukan nama sebenarnya, salah seorang yang tertular virus HIV
akibat menggunakan narkoba, adalah contoh orang yang ingin menyetop
penularan virus tersebut. Kepada belia, Modu pun cerita kalau aktivitas
seksualnya sekarang hanya sebatas kissing. Keinginan untuk menyetop
penularan virus HIV ini juga ada pada diri Bunga (23). Ibu satu anak yang
suaminya meninggal karena tertular virus HIV ini, juga sangat hati-hati
dalam melakukan aktivitas seksual.

Bunga--bukan nama sebenarnya juga-- enggak pengen kalau pasangan hidupnya
nanti, juga tertular virus yang lebih dulu nempel di tubuhnya. "Dulu, gua
mesti ngurusin suami yang sakit, sementara gua lagi hamil. Saat hamil lima
bulan pun, gua masih sakaw. Sampai akhirnya anak gua mesti lahir prematur,
dan sekarang dia juga tertular," ujarnya.

Whew, Modu dan Bunga mungkin enggak pengen memperbanyak jumlah orang yang
tertular virus HIV. Bayangin aja, data menunjukkan, jumlah orang yang
tertular virus ini di Jawa Barat mencapai angka 1310 orang. Padahal, bulan
Agustus 2004, data masih menunjukkan 1100 orang yang tertular.

"Bandung merupakan kota keempat setelah Papua, Jakarta, dan Bali yang paling
banyak odhanya. Dan Indonesia menempati peringkat ketiga setelah Afrika dan
India, yang tingkat pertumbuhan odhanya tinggi," ungkap dr. Nirmala. K, MHA,
seksi Diklat Tim Penanggulangan AIDS Perjan RSHS Bandung. Dari 220 juta jiwa
penduduk Indonesia, dipastikan 130.000 orang telah melaporkan kalau dirinya
tertular virus HIV, padahal, dr. Nirmala punya estimasi sekira 20.000 orang
yang telah tertular tetapi tidak melaporkan diri.

Data memang nunjukkin pertumbuhan odha semakin cepat di lingkungan kita.
Tapi bukan berarti kita enggak bisa menyetop atau memperlambat angka-angka
itu, kan? dr. Nirmala pun bilang kalau penularan HIV masih bisa cegah.
"Salah satunya dengan safe sex. Untuk yang akan menikah, bisa melakukan
konseling pranikah, dan VCT (voluntary counselling and testing) untuk yang
belum pernah terkena penyakit menular seksual, yang jadi pintu gerbang
masuknya virus HIV," jelas beliau.

Pencegahan kehamilan, infeksi menular seksual, mencegah penyakit hepatitis
B, akan secara tidak langsung mencegah pula masuknya virus HIV ke dalam
tubuh. "Tentunya, ditambah pengetahuan yang cukup tentang kesehatan
reproduksi remaja, itu cukup membantu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang
tidak diinginkan," tambahnya.

"Saat di Cipanas saya dan dua temen ikut minum dan ngisep ganja. Kemudian,
dua teman saya dipakai tiga laki-laki yang dikenalkan oleh guru saya,
sedangkan saya sendiri dipaksa untuk melayani satu orang," ujar Mawar, yang
terakhir duduk di bangku kelas 2 SMA.

Nah, kalau sudah tahu banyak gini, masih mau beraktivitas
seks bebas, nggak? ***





Pendidikan Anti Korupsi ? Wajib itu….

May 28, 2008

Sekitar setahunan yang lalu kampung saya di Cianjur kedatangan seorang pejabat “terkenal” , pejabat itu dikabarkan akan memberikan “sumbangan” alias infak untuk membantu pembangunan sebuah pesantren disana. Semua orang tahu bahwa pejabat itu sedang terlibat kasus korupsi, semua orang tahu bahwa dia adalah koruptor kelas kakap, wajahnya sering sekali nongol di televisi, bolak-balik kantor polisi! namun kedatangan pejabat yang sudah eksis sejak jaman orde baru itu ternyata disambut sangat meriah oleh masyarakat. Masyarakat dari berbagai penjuru desa termasuk diantaranya tetangga dan beberapa saudara saya berbondong-bondong datang ke pesantren hanya untuk melihat hidung mancung sang pejabat dan melihat betapa meriahnya acara hiburan yang telah dipersiapkan oleh santri-santri dan masyarakat disana. Mereka juga berebut dan rela berjubel-jubel hanya untuk bersalaman dengan sang pejabat, sang pejabat diperlakukan layaknya seorang selebritis, seperti seorang pahlawan. Saat itu saya hanya bisa mengurut dada, bagaimanapun terkenalnya sang pejabat di mata saya dia adalah seorang koruptor, seseorang yang telah menghancurkan Indonesia ke jurang nista, seseorang yang bila hidup di Cina maka dia telah mati dipenggal atau ditembak, seseorang yang bila hidup di Italia maka dia telah dilempari tomat busuk oleh siapapun yang melihat. Namun dia beruntung hidup di Indonesia, negeri impian para koruptor.

Inilah femonena aneh yang terjadi di Indonesia, korupsi dapat bertumbuhkembang salah satu penyebabnya karena di Indonesia para koruptor dapat “beraktivitas” dengan bebas dengan tetap memperoleh kebanggaan, penghormatan, juga pengakuan dari masyarakat. Fenomena ini terjadi karena seperti itulah pola pikir sebagian masyarakat. Oleh sebab itu harus ada perubahan paradigma, persepsi atawa pola pikir tentang korupsi secara global dan radikal! Dan perubahan paradigma radikal itu hanya bisa dilakukan melalui jalur pendidikan.

Pendidikan Anti-Korupsi

Sekali lagi, perjuangan pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan harus dilakukan karena memiliki tingkat keefektifan yang tinggi dalam membentuk suatu pemahaman yang menyeluruh pada masyarakat tentang bahaya korupsi. Dari pemahaman pada nantinya akan menghasilkan suatu persepsi atau pola pikir masyarakat Indonesia secara keseluruhan bahwa korupsi adalah musuh utama bangsa Indonesia. Selama ini harus kita akui bahwa kita belum menjadikan korupsi sebagai musuh utama yang harus dihilangkan, inilah yang menjadi penyebab mengapa korupsi bukannya makin sedikit malah sebaliknya semakin membukit. Dengan kenyataan seperti ini perjuangan pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan bukanlah sebuah alternative melainkan sebuah kewajiban !

Semua hal tentang bahaya korupsi dan segala yang berhubungan dengan perbuatan korupsi kita rangkum dalam sebuah mata pelajaran baru. Di Indonesia setiap murid sejak SD sampai SMU sampai perkuliahan memiliki beban untuk mempelajari banyak mata pelajaran. Artinya para pelajar di Indonesia “sudah terbiasa” apabila suatu saat ada sebuah mata pelajaran baru yang diberi nama : mata pelajaran Anti-Korupsi. Saya kira kemunculan mata

pelajaran ini akan menjadi peristiwa terheboh dalam sejarah dunia pendidikan Indonesia, bagi para koruptor yang jumlahnya tak terhitung peristiwa ini akan mereka sebut sebagai bencana nasional, mengalahkan tragedi tsunami!

Maaf yah, daripada para murid dipaksakan belajar sejarah, geografi, PPKN, atau pelajaran-pelajaran lain yang sebenarnya sifatnya dipaksakan lebih baik mereka mempelajari betapa menariknya dunia perkorupsian di Indonesia dalam mata pelajaran Anti-Korupsi. Saya kira para murid bakalan lebih tertarik mempelajari sejarah korupsi di Indonesia daripada mempelajarai sejarah Majapahit atau sejarah perang dunia. Para murid juga pasti akan lebih tertarik mengetahui siapa sih bapak korupsi di Indonesia daripada mengetahui plus memuja-muji bapak pembangunan Indonesia. Dalam mata pelajaran Anti-Korupsi para murid dapat membahas tentang bahaya korupsi, isu-isu terkini seputar korupsi, siapa saja pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi, dan siapa saja yang sudah diputuskan bersalah. Untuk kurikulum saya kira di Indonesia banyak sekali orang pintar yang mampu membuat kurikulum pendidikan Anti-Korupsi. Yang terpenting dari pendidikan Anti-Korupsi adalah bagaimana menanamkan sebuah pola pikir kepada masyarakat Indonesia terutama para pelajar yang merupakan calon-calon pemimpin untuk mengharamkan dan membenci suatu perbuatan yang dinamakan korupsi.

Mata Pelajaran Anti-Korupsi Vs PPKN dan Pendidikan Agama

Indikator keberhasilan suatu mata pelajaran adalah output manusia yang dihasilkan setelah mempelajari mata pelajaran tersebut. Dari mata pelajaran PPKN diharapkan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kecintaan terhadap tanah air, memiliki prilaku yang baik, dan bermoral tinggi. Dari mata pelajaran pendidikan Agama tentunya diharapkan menghasilkan manusia-manusia berakhlakul karimah dan taat terhadap perintah agama. Inti dari kedua mata pelajaran ini adalah bagaimana menghasilkan manusia Indonesia yang memiliki kecintaan terhadap bangsa dan Negara, bermoral, berakhlakul karimah, dan memiliki keimanan terhadap agamanya. Namun yang terjadi sungguh ironi, sebuah fakta menggelegar bahwa Indonesia “berhasil” masuk tiga besar Negara terkorup di dunia membuat kita harus berpikir ulang. Bukankah korupsi adalah perbuatan menghancurkan Negara ? bukankah korupsi sangat diharamkan oleh agama ? fakta menyedihkan ini membuat saya berani mengambil sebuah kesimpulan : Mata pelajaran PPKN dan pendidikan Agama telah gagal mencegah korupsi.

Nah, karena kedua mata pelajaran itu telah gagal mencegah korupsi maka dunia pendidikan di Indonesia berarti membutuhkan mata pelajaran baru yang lebih memiliki “kekuatan” untuk menghancurkan korupsi. Dan kekuatan tersebut ada dalam mata pelajaran Anti-Korupsi.

Dengan berbagai alasan tersebut saya berani membuat sebuah Hipotesis : Mata pelajaran Anti-Korupsi dapat mencegah, mengurangi dan memberantas korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya. Tentunya ini hanyalah sebuah hipotesis atau perkiraan awal, benar atau tidaknya hipotesis ini akan terbukti setelah mata pelajaran Anti-Korupsi benar-benar dimasukan dalam dunia pendidikan di Indonesia. So, kita tunggu saja ! ***

(Artikel ini pernah diikutsertakan dalam lomba penulisan artikel yang diadakan oleh Kompas Gramedia dengan Tema Pendidikan Anti Korupsi)

benar-benar suatu peryataan yang membuat malu bangsa indonesia ini sampai sampai harus di buat mata pelajaran anti-korupsi. kemana naluri kejujuran yang selama ini hilang??? (purwanto jati irawan 200741500004 bio 2a)