Rabu, 28 Mei 2008

I. ALIRAN PERENIALISME

A. Tempat Asal Aliran Perenialisme Dikembangkan

Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluur yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.

Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebuoayaan dan pendidikan zaman sekarang.

Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme mcmandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan kemasa lampau.

Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.

Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.

B. Tokoh-tokoh Perenialisme

Aristoteles Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.

Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.

Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.

Plato Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.

Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme.

Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.

Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi (Bamadib, 1990: 64-65).

Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya.

C. Pandangan Perenialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.

Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode dedduksi, yang merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.

Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsip-prinsip pertama mampu mempunyai penman sedemikian, karena telah memiliki evidensi diri sendiri.

Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan berusaha untuk men gadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian ia telah mampu mengembangkan suatu paham.

Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.

Dengan mengetahui rulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni:

1. Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.

2. Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya­karya tokoi1 terse but untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.

Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buahpikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli terse­but dalam bidangnya masing-masing dan dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat pereni­alisme tersebut.

Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.

Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tug as pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.

Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.

Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itl! terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.

D. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Perenialisme

  1. Pandangan secara Ontologi

Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individuIl, esensi, aksiden dan substansi. Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual disini adalah bend a sebagaimana nampak diha­dapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu.

Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya partikular dan uni versal, ma­terial dan spiritual.

Jadi segala yang ada di alam semesta ini seperti halnya manusia, batu bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya mem­pakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan kambinasi antara zat atau bend a tapi merupakan unsur patensiaJitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diutarakan aleh Aristateles tetapi ia juga merupakan sesuatu yang datang bersama-sama dari sesuatu "apa" yang terkandung dalam inti (essence) dan potensialitas dengan tindakan untuk "berada" yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas.

Uraian di atas sejalan dengan apa yang dikatakan I.R Poedjawijatna bahwa esensi dari pada kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari patensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah patensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya meskipun manusia dalam hidupnya jarang dikuasai oleh sifat eksistensi kemanusiaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauan­nya, Schula ini dapat dikurangi. Hal-hal yang bersifat partikular yang merintangi kehidupan dapat diatasi. Maka dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini manusia dapat makin mendekatkan diri kepada gerak yang tanpa gerak itu, ialah tujuan dan bentuk terakhir dari segalanya.

Jadi dengan demikian bahwa segala yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi, bila dihubungkan dengan manusia maka manusia itu adalah patensialitas yang di dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya semua ini dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta manusia itu sendiri dan merupakan tujuan akhir.

  1. Pandangan Epistemologis Perennialisme

Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. lni berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa penge­tahuan itu inerupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.

Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.

  1. Pandangan Aksiologi Perennialisme

Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu adapula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.

Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.

Jadi manusia sebagai subyek dalam bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adaJah lercermm dari jlwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuataJl potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan at au menjauhi Tuhan, dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan, Kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.

Dalam bidang pendidikan perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran, Pendidikan hendaknya berorientasi pada p~tensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.

Dengan demikian jelaslah bahwa perenialisme itu rnenghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.

Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan, Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah "kehahagiaan". Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus di kembangkan secara seimbang. Sejalan dengan uraian di atas, Zuhairini Arikunto juga berpendapat dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, mengatakan tujuan pendi­dikan yang dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata, Oalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.

Menurut Robert Hutchkins bahwa manusia adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat.

Dapatlah disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka dapat mempertinggi kemam­puan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi.

II. ALIRAN ESENSIALISME

  1. Pendahuluan

Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.

Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.

Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.

Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual.

John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental.

Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.

Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.

Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.

B. Tokoh-tokoh Esensialisme

1. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)

Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.

2. George Santayana

George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).

B. Tempat Asal Aliran Esensialisme Dikembangkan

Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.

Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.

Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.

C. Pandangan Esensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

1. Pandangan Essensialisme Mengenai Belajar

Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.

Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.

Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.

Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan di teruskan kepada angkatan berikutnya.

Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:

1. Determiuisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.

2. Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.

2. Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum

Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.

Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:

1. Universum:

Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.

2. Sivilisasi:

Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera .

3. Kebudayaan:

Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.

4. Kepribadian:

bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal.

Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.

Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi

Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen at au dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.

D. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Esensialisme

1. Pandangan secara Ontologi

Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada.

Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esenisalisme semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan keagungan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola idealisme, realisme dan sebagainya.

Adapun uraian mengenai realisme dan idealisme ialah:

  1. Realisme yang mendukung esensialisme yang disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tcmpat manusia di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisika dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jalan khusus. Dengan demikian berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkan menurut hukum alam di antaranya daya tarik bumi. Sedangkan oleh ilmu-ilmu lain dikembangkanlah teori mekanisme, dan dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab akibat, tarikan dan tekanan mesin yang sangat besar.

2. ldealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Maksudnya adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah nyata.

Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.

Ciri lain mengenai penafsiran idealisme tentang sistem dunia tersimpul dalam pengertian-pengertian makrokosmos dan mikrokosmos. Mikrokosmos menunjuk kepada keseluruhan alam semesta dalam arti susunan dan kesatuan kosmis. Mikrokosmos menunjuk kepada fakta tunggal pada tingkat manusia. Manusia sebagai individu, jasmani dan rohani, adalah makhluk yang semua tata serta kesatuannya merupakan bagian yang tiada terpisahkan dari alam semesta. Pengertian mengenai makrokosmos dan mikrokosmos merupakan dasar pengertian mengenai hubungan antara Tuhan dan manusia.

2. Pandangan secara Epistemologi

Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi esensialisme. Sebab jika manusia mampu menyadari realita scbagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestiannya. Berdasarkan kualitas inilah dia memperoduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial, dan agama.

1. Pandangan Kontraversi Jasmaniah dan Rohaniah

Perbedaan idealisme dan realisme adalah karena yang pertama menganggap bahwa rohani adalah kunci kesadaran tentang realita. Manusia mengetahui sesuatu hanya di dalam dan melalui ide, rohaniah. Sebaliknya realist berpendapat bahwa kita hanya mengctahui sesuatu realila di dalam melalui jasmani. Bagi sebagian penganut realisme, pikiran itu adalahjasmaniah sifatnya yang tunduk kepada hukum-hukum phisis.

Konsekuensinya kedua unsur rohani dan jasmani adalah realita kepribadian manusia. Untuk mengerti manusia, baik filosofis maupun ilmiah haruslah melalui hal tersebut dan pendekatan rangkap yang sesuai dalam pelaksanaan pendidikan.

2. Pendekatan (Approach) ldealisme pada Pengetahuan

Kita hanya mengerti rohani kita sendiri, tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain. Sebab kesadaran kita, rasio manusia adalah bagian dari pada rasio Tuhan yang Maha Sempurna.

Menurut T.H Green, approach personalisme itu hanya melalui introspeksi. Padahal manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan. Karena itu setiap pengalaman mental pasti melalui refleksi antara macam-macam pengamalan.

3. Menurut Teori Koneksionisme

Teori ini menyatakan semua makhluk, termasuk manusia terbentuk (tingkah lakunya) oleh pola-pola connections between (hubungan-hubungan antara) stimulus dan respon. Dan manusia dalam hidupnya sdalu membentuk tatajawaban dengan jalan memperkuat atau memperlemah hubungan antara stimulus dan respon. Dengan demikian terjadi gabungan-gabungan hubungan stimulus dan respon, yang sdalu menunjukkan kualitas yang tinggi dan rendah atau kuat lemah. Di samping koneksionisme dapat meletakkan pandangan yang lebih meningkat dari assosianisme dan behi viorisme juga menunjukkan bahwa dalam hal belajar perasaa yang dimiliki oleh manusia mempunyai peranan terhadap berhas tidaknya belajar yang dilakukan.

4. Tipe Epistemologi Realisme

Terdapat beberapa tipe epistemologi realisme. Di Amerika ada dua tipe yang utama:

a. Neorealisme

Secara psikologi neorealisme lebih erat dengan behaviorisme Baginya pengetahuan diterima, ditanggap langsung oleh pikirar dunia realita. ltulah sebabnya neorialisme menafsirkan badan se bagai respon khusus yang berasal dari luar dengan sedikit atat tanpa adanya proses intelek.

b. Cretical Realisme

Aliran ini menyatakan bahwa media antara inetelek dengan realita adalah seberkas penginderi'.an dan pengamatan.

3. Pandangan secara Aksiologi

Pandangan ontologi dan epistemologi sangat mempengaruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal, tergantung pada pandangun-pandangan idealisme dan realisme sebab essensialisme terbina aleh kedua syarat tersebut.

  1. Teori Nilai Menurut Idealisme

Penganut idealisme berpegang bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika banyak interaktif berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu. Menurut idealisme bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang, haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk ini, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.

George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter at au nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).

b.Teori Nilai Menurut Realisme

Prinsip sederhana realisme tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa mengenai masalah baik-buruk khususnya dan keadaan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan atas keilumuan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari Iingkungan.

III. Aliran Progresivisme

A. Pendahuluan

Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.

Dalam pendapat lain, pragmatisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa manusia untuk mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.

B. Tokoh-tokoh Progresivisme

Filsafat pendidikan Progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.

1. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)

William James Seorang psychologist dan seorang filosuf Amerika yang sangat terkenal. Paham dan ajarannya demikian pula kepribadiannya sangat berpengaruh diberbagai negara Eropa dan Amerika. Meskipun demikian dia sangat terkenal dikalangan umum Amerika sebagai penulis yang sangat brilian, dosen serta penceramah dibidang filsafat, juga terkenal sebagai pendiri Pragmatisme. James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku. Buku karangannya yang berjudul Principles of Psychology yang terbit tahun 1890 yang membahas dan mengembangkan ide-ide tersebut, dengan cepat menjadi buku klasik dalam bidang itu, hal inilah yang mengantar William James terkenal sebagai ahli filsafat Pragmatisme dan Empirisme radikal.

2. John Dewey (1859 - 1952)

John DeweyJohn Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan.

Salah seorang bapak pendiri filsafat pragmatisme. Dewey mengembangkan pragmatisme dalam bentuknya yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula dihubungkan terutama sekali dengan versi pemikiran yang disebut instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan dengan problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Dan reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam sumbangan pikirannya terhadap filsafat pendidikan Prugressivisme Amerika. Dewey tidak hanya berpengaruh dalam kalangan ahli filsafat profesional, akan tetapi juga karena perkembangan idenya yang fundamental dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik dan ilmu jiwa. Dia adalah juru bicara yang sangat terkenal di Amerika Serikat dari cara-cara kehidupan demokratis.

Charles S. PierceJohn Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.

Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.

Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.

Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).

Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.

3. Hans Vaihinger (1852 - 1933)

Hans VaihingerMenurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.

4. Georges Santayana

Georges digolongkan pada penganut pragmatisme ini. Tapi amat sukar untuk memberikan sifat bagi hasil pemikiran mereka, karena amat banyak pengaruh yang bertentangan dengan apa yang dialaminya.

Gambar 5: Georges Santayana

C. Tempat Asal Aliran Progresivisme Dikembangkan

Progressivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar abad ke-20. John S. Brubaeher, mengatakan bahwa filsafat progressivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang di perkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1885 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Didalam banyak hal progressivisme identik dengan pragmatisme. Oleh karena itu apabila orang menyebut pragmatisme, maka berarti sama dengan.

Filsafat progressivisme sama dengan pragmatisme. Pertama, filsafat progressivisme atau pragmatisme ini merupakan perwujudan dan ide asal wataknya. Artinya filsafat progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme di mana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk terus survive (mempertahankan hidupnya) terhadap semua tantangan, dan pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.

Oleh karena itu filsafat progresivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya. Nilai-nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan, sebagaimana dikembangkan oleh lmanuel Kant, salah seorang penyumbang pemikir pragmatisme-progresivisme yang meletakkan dasar dengan penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi. Dengan demikian filsafat progresivisme menjunjung tinggi hak asasi individu dan menjunjung tinggi akan nilai demokratis.

Sehingga progresivisme dianggap sebagai The Liberal Road of Cultlire (kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka (open minded). Dan menuntut pribadi-pribadi penganutnya untuk selalu bersikap penjelajah, peneliti, guna mengembangkan pengalamannya. Mereka harus memiliki sikap terbuka dan berkemauan baik sambil mendengarkan kritik dan ide-ide lawan sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk membuktikan argumen tcrsebut.

Tampak filsafat progresivisme menuntut kepada penganutnya untuk selalu progres (maju) bertindak secara konstruktif, inovatif dan reformatif), aktif serta dinamis. Sebab sudah menjadi naluri manusia selalu menginginkan perubahan-perubahan. Manusia tidak mau hanya menerima satu macam keadaan saja, akan tetapi berkemauan hidupnya tidak sama dengan masa sebelumnya. Untuk mendapatkan perubahan itu manusia harus memiliki pandangan hidup di mana pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded (punya hati terbuka).

Namun demikian filsafat progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir (man's natural powers). Maksudnya adalah manusia sejak lahir telah membawa bakat dan kemampuan (predisposisi) atau potensi (kemampuan) dasar terutama daya akalnya sehingga dengan daya akalnya manusia akan dapat mengatasi segala problematika hidupnya, baik itu tantangan, hambatan, ancaman maupun gangguan yang timbul dari lingkungan hidupnya. Sehubungan dengan itu Wasty Soemanto menyatakan bahwa daya akal sama dengan intelegensi, di mana intelegensi menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan-pemecahan masalah. Di sini·tersirat bahwa intelegensi merupakan kemampuan problem solving dalam segala situasi baru atau yang mengandung masalah.

Dengan demikian potensi-potensi yang dimiliki manusia mempunyai kekuatan-kekuatan yang harus dikembangkan dan hal ini menjadi perhatian progresivisme. Nampak bahwa aliran filsafat progresivisme menempatkan manusia sebagai makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku (subyek) di dalam hidupnya.

D. Pandangan Progesivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain, Oleh karena itu filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.

Adapun filsafat progresivisme memandang tentang kebudayaan bahwa budaya sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu.

Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusia-manusia yang berkualitas unggul, berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif sanggup menjawab tantangan zamannya.

Untuk itu sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana apa yang telah diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan "Belajar Sambil Berbuat" (Learning by doing) dan pemecahan masalah (Problem solving) dengan langkah-langkah menghadapi problem, mengajukan hipotesa.

Dengan berpijak dari pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progresivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.

Landasan filosofis pembelajaran IPA terpadu ialah filsafat pendidikan Progresivisme yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.

Pembelajaran IPA terpadu merupakan konsep pembelajaran IPA dengan situasi lebih alami dan situasi dunia nyata, serta mendorong siswa membuat hubungan antar cabang IPA dan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari hari. Pembelajaran IPA terpadu merupakan pembelajaran bermakna yang memungkinkan siswa menerapkan konsep-konsep IPA dan berpikir tingkat tinggi dan memungkinkan mendorong siswa peduli dan tanggap terhadap lingkungan dan budayanya.

Dalam pembelajaran IPA hendaknya guru dapat merancang dan mempersiapkan suatu pembelajaran dengan memotivasi awal sehingga dapat menimbulkan suatu pertanyaan. Dengan begitu, guru yang bertugas dapat mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa dalam melaksanakan pembelajaran berdasarkan inkuari. Ciri utama pembelajaran IPA adalah dimulai dengan pertanyaan atau masalah dilanjutkan dengan arahan guru menggali informasi, mengkonfirmasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan pada tujuan apa yang belum dan harus diketahui. Jadi terlihat bahwa siswa akan dapat menemukan sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul diawal pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan tidak dengan jalan mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dengan jalan menemukan dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil kemandiriannya.

Dengan begitu, untuk pembelajaran IPA hendaknya dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya heterogen, untuk dapat bekerja sama, saling berinteraksi dan mendiskusikan hasil secara bersama sama, saling menghargai pendapat teman, sampai dapat memutuskan kesimpulan yang disepakati bersama.

1. Asas Belajar

Pandangan mengenai belajar, filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa anak didik mempuyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Kelebihan anak didik memiliki potensi akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya.

Seiring dengan pandangan di atas, bahwa filsafat progresivisme mengakui anak didik memiliki potensi akal dan kecerdasan untuk berkembang dan megakui individu atau anak didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya.

Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yang berkembang. Usaha-usaha yang dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi-motivasi dan stimuli-stimuli sehingga akal dan kecerdasan anak didik dapat difungsikan dan berkembang dengan baik.

John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Artinya disini sebagai proses pertumbuhan dan proses di mana anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.

Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Artinya sekolah adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah filsafat progresivisme menghendaki isi pendidikan dengan bentuk belajar "sekolah sambil berbuat" atau learning by doing.

Tegasnya, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui bahwa sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan) akan tetapi sekolah juga berfungsi sebagai transfer of value atau pemindahan nila nilai, sehingga anak menjadi trampil dan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.

John Locke (1632-1704) mengemukakan, bahwa sekolah hendaknya ditujukan untuk kepentingan pendidikan anak. Sekolah dan pengajaran hendaknya disesuaikan dengan kepentingan anak (Suparlar 1984: 48). Kemudian Jean Jacques Rosseau (1712-1778), menyataka anak harus dididik sesuai dengan alamnya; jangan dipandang dari sudut orang dewasa. Anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan dunianya sendiri, yaitu berlainan sekali dengan alam orang dewasa.

Beranjak dari ketiga pendapat di atas, berarti sekolah sebagai wiyata mandala (lingkungan pendidikan) sebagai wadah pembinaan dalam pendidikan anak-anak didik dalam rangka menumbuh kembangkan segenap potensi-potensi baik itu bakat, minat dan kemampuan-kemampuan lain agar berkembang secara maksimal. Guru sebagai pendidik bertanggung jawab akan tugas pendidikannya. Seluruh aktivitas-aktivitas yang dijalankan guru harus diperuntukkan untuk kepentingan anak didik.

Hal yang harus diperhatikan gura adalah "anak didik bukan manusia dewasa yang kecil" yang dapat diperlakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru harus mengetahui tahap-tahap perkembangan anak didik lewat ilmu psikologi pendidikan. Sehingga guru akan dapat mengetahui kapan dan saat bagaimana materi itu diajarkan. Pertolongan pendidikan dilaksanakan selangkah demi selangkah (step by step) sesuai dengan tingkat dan perkembangan psikologis anak.

Di samping itu, anak didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan daya kreasi anak. Untuk itu pendidikan hendaklah yang progresive. Di sini prinsip kebebasan prilaku, di mana anak sebagai subyek pendidikan, sedangkan guru sebagai pelayan siswa.

Wasty Soemanto dalam Psikologi Pendidikan: Landasan Pemimpin Pendidikan, mengutip pendapat John Dewey sebagai berikut:

John Dewey ingin mengubah hambatan dalam demokrasi pendidikan dengan jalan:

1. Memberi kesempatan murid untuk belajar perorangan.

2. Memberi kesempatan murid untuk belajar melalui pengalaman.

3. Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan memberikan tujuan yang dapat menjelaskan ke arah kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak didik,

4. Mengikut sertakan murid di dalam setiap aspek kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak.

5. Menyadarkan murid bahwa hidup itu dinamis. Oleh karena itu murid harus dihadapkan dengan dunia yang selalu berubah dengan 'kemerdekaan beraktivitas, dengan orientasi kehidupan masa kini.

Hal ini menunjukkan bahwa John Dewey ingin mengubah bentuk pengajaran tradisional. di mana ditandai dengan sifat verbalisme di mana terdapat cara belajar DDCH (duduk, dengar, catat, hafal), murid bersifat reseptif dan pasif saja. Hanya menerima pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru, tanpa melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Guru mendominasi kegiatan belajar. Murid tanpa diberikan kebebasan sarna sekali untuk bersikap dan berbuat. Dalam abad ke-20 ini terjadi perubahan besar mengenai konsepsi pendidikan dan pengajaran. Perubahan tersebut membawa perubahan pula dalam cara mengajar belajar di sekolah. di mana kini berangsur-angsur beralih menuju kearah penyelenggaraan sekolah progresive, sekolah kerja, sekolah pembangunan dan CBSA.

Progresivisme menghendaki pendidikan yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik saja, melainkan yang terpenting ialah melatih kemampuan berpikir secara ilmiah. Semua itu dilakukan oleh pendidikan agar orang dapat maju atau mengalami progress. Dengan demikian orang akan dapat bertindak dengan intelegen sesuai dengan tuntutan dari lingkungan.

Dari uraian di atas, dapatlah diambil suatu konklusi asas progresivisme dalam belajar bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, setiap anak didik berbeda kemampuannya, individu atau anak didik adalah insan yang aktif kreatif dan dinamis dan anak didik punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Pandangan Kurikulum Progressivisme

Selain kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolal Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.

Sekolah yang baik itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para siswanya selama belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan menolong siswanya untuk tumbuh dan berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan untuk diperiksa setiap saat.

Sikap progressvisme, memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur.

Pendidikan dilaksanakan di sekolah dengan anggapan bahwa sekolah dipercaya oleh masyarakat untuk membantu perkembangan pribadi anak. Faktor anak merupakan faktor yang cukup urgen (penting), karena sekolah didirikan untuk anak. Karena itu hak pribadi anak perlu diutamakan, bukan diciptakan sekehendak yang mendidiknya. Dengan kata lain anak hendaknya dijadikan sebagai subyek pendidikan bukan sebagai obyek pendidikan.

Untuk memenuhi keutuhan tersebut, maka filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sekolah didirikan karena tidak mempunyai orang tua atau masyarakat untuk mendidik anak. Karena itu kurikulum harus dapat mewadahi aspirasi anak, orang tua serta masyarakat. Maka kurikulum yang edukatif dan eksperimental dapat memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.

Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek. Untuk itu ia memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan demi kelestarian hidupnya. Hidupnya bukan hanya untuk kelestarian pertumbuhan saja, akan tetapi juga untuk perkembangan pribadinya. Oleh karena itu manusia harus belajar dari pengalaman.

Pengalaman-pengalaman itu diperoleh sebagai akibat dari belajar. Anak didik yang belajar di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan, di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman itu yang nantinya dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan umum (masyarakat sekitar).

Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem solving.

Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Dengan berlandaskan sekolah sambil berbuat inilah praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (Iapangan) merupakan kegiatan belajar yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing. Dalam hal ini, filsafat progresivisme ingin membentuk keluaran (out-put) yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.

Metode problem solving dan metode proyek telah dirintis oleh John Dewey (1859-1952) dan dikembangkan oleh W.H Kilpatrick. John Dewey telah mengemukakan dan menerapkan metode problem solving kedalam proses pendidikan, melakukan pembaharuan atau inovasi dari bentuk pengajaran tradisional di mana adanya verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut untuk dapat memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada materi-materi pelajaran yang menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa, melakukan hipotesa dan menyimpulkannya dan penekanannya terletak kepada kemampuan intelektualnya. Pengajaran dengan program unit, akan meniadakan batas-batas antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain dan akan lebih memupuk semangat demokrasi pendidikan.

W.H Kilpatrick mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip:

1. Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang.

2. Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh.

3. Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan, dan dalam hal ini apa saja yang ingin berbuat serta kecakapan efektif untuk mengamalkan secara bijaksana melalui pertimbangan yang matang.

Dari penjelasan yang dikemukakan oleh W.H Kilpatrick tersebut ada beberapa hal yang perlu diungkapkan yaitu: (1) kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas hidup anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan, (2) kurikulum yang dapat membina dan mengembangkan potensi anak didik, (3) kurikulum yang sanggup mengubah prilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif dan kemandirian dan (4) kurikulum bersi­fat fleksibel atau luwes berisi tentang berbagai macam bidang studio.

Melalui proses pendidikan dengan menggunaka kurikulum yang bersifat intergrated kurikulum (masalah-masalah dalam masyarakat disusun terintegrasi) dengan metode pendidikan belajar sambil berbuat (learning by doing) dan metode problem solving (pemecahan masalah) diharapkan anak didik menjadi maju (progress) mempunyai kecakapan praktis dan dapat memecahkan problem sosial sehari-hari dengan baik.

E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Progresivisme

1. Pandangan secara Ontologi

Asal Hereby atau asal keduniawian, adanya kehidupan realita yang amat luas tidak terbatas, sebab kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu, pengalaman manusia tentang penderitaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan dan lain-lain adalah realita manusia hidup sampai mati, Pengalaman adalah suatu sumber evolusi, yang berarti perkembangan, maju setapak demi setapak mulai dari yang mudah-mudah menerobos kepada yang sulit-sulit (proses perkembangan yang lama).

Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup adalah tindakan dan perubahan-perubahan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak.

2. Pandangan secara Epistemologi

Pengetahuan adalah informasi, fakta, hukum prinsip, proses, kekuasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi pengalaman. Pengetahuan diperoleh manusia baik seeara langsung melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkun hidupnya, ataupun pengetahuan diperoleh langsung melalui catatan (buku-buku, kepustakaan). Pengetahuan adalah hasil aktivitas tertentu. Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita dalam praktek, maka makin besar persiapan menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Kebenaran dan kemampuan suatu ide memecahkan masalah, kebenaran adalah (sekuen dan pada sesuatu ide, realita pengetahuan dan daya guna.

3. Pandangan secara Aksiologi

Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian adanya pergaulan. Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan dari individu-individu. Nilai itu benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan adalah menunjukkan kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan manusia.

4. Pandangan dari Sudut Budaya

Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak kaku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Filsafat progresivisme menganggap bahwa pendidikan telah mampu merubah dan membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kultural dan tantangan zaman, sekaligus menolong manusia menghadapi transisi antara zaman tradisional untuk memasuki zaman modern (progresif).

Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang semakin terus maju. Kenyataan menunjukkan bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di pohon-pohon atau gua-gua. Hidupnya hanya bergantung dengan alam. Alamlah yang mengendalikan manusia. Dengan sifatnya yang tidak iddle curiousity (rasa keingintahuan yang terus berkembang) makin lama daya rasa, cipta dan karsanya telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna. Alamlah yang dikendalikan oleh manusia. Hidup manusia tidak lagi di pohon-pohon atau gua-gua, akan tetapi dengan potensi akalnya manusia telah membangun gedung-gedung yang menjulang tinggi, rumah-rumah mewah.

Filsafat progresivisme yang memiliki konsep manusia memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat memecahkan problematika hidupnya, telah mempengaruhi pendidikan, di mana dengan pembaharuan-pembaharuan pendidikan telah dapat mempengaruhi manusia untuk maju (progress). Sehingga semakin tinggi tingkat berpikirnya manusia maka semakin tinggi pula tingkat budaya dan peradaban manusia. Akibatnya anak-anak tumbuh menjadi dewasa, masyarakat yang sederhana dan terbelakang menjadi masyarakat yang komplek dan maju.

V. ALIRAN PRAGMATISME

A. Pendahuluan

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini.

B. Tokoh-tokoh Pragmatisme

Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.

Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan.

C. Tempat Asal Aliran Pragmatisme Dikembangkan

Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.

Pragmatisme, telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia.

Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia.

1. Hakikat Pragmatisme

Deskripsi mengenai Pragmatisme akan diawali dengan penjelasan ringkas tentang sejarah mata rantai pemikiran Barat, agar diperoleh gambaran komprehensif tentang posisi Pragmatisme dalam konstelasi pemikiran Barat.

Asal Usul Pragmatisme

Gambar 7: Thomas AquinasSetelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi. Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance.

Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643). Juga Francis Bacon (1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Jadi, Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun periode Scholastik (1000 - 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama.

Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja –seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)–, penindasannya yang telanjang, dan dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan ini secara tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.

Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.

Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya.

Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan “immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia.

Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut.

Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di Rusia.

Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.

Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.

Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).

Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman

Gambar 8: William James(Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James. Pembahasan tentang Pragmatisme akan diuraikan lebih rinci pada keterangan selanjutnya.

2. Arti Pragmatisme

Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.

Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).

Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).

Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.

Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi.Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.

James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular.

Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.

Pragmatisme yang diserukan oleh James ini –yang juga disebut Practicalisme– , sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi. Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.

John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:

1. Merasakan adanya masalah

2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.

3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.

4. Memilih dan menganalisis hipotesis.

5. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.

Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.

Demikianlah Pragmatisme berkhotbah dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.

D. Pandangan Pragmatisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

1. Pengalaman dan Pertumbuhan

Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.

Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.

Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.

Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.

2. Tujuan Pendidikan

Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.

Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.

Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.

Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.

Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.

Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.

Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.

Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.

E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Pragmatisme

Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :

1. Pandangan dari Segi Landasan Ideologi

Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi Kapitalisme. Aqidah ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V - XV M), yakni keharusan menundukkan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Al Khaliq.

Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.

Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih penting daripada ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa.

Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.

Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath’i (yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi.

Menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak dibangun atas dasar pembahasan akal.

Kritik yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran cabang yang dibangun di atas landasan yang batil –termasuk dalam hal ini Pragmatisme– pada hakekatnya adalah batil juga.

4. Kritik dari Segi Metode Berpikir

Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial. Ini adalah suatu kekeliruan.

Metode Ilmiah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.

Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode Akliyah/Rasional (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiah. Sebab, Metode Ilmiah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah.

Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam otak, yang kemudian diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak.

Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiah, atau dengan kata lain Metode Ilmiah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua point :

a. Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiah, tak dapat tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiah.

b. Bahwa Metode Ilmiah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiah.

Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.

5. Kritik Terhadap Pragmatisme Itu Sendiri

Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas.

Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia. Kedua, Pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif. Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.

6. Kontradiksi Pragmatisme Dengan Islam

Jelas sekali bahwa Pragmatisme –sebagai standar ide dan perbuatan– sangat bertentangan dengan Islam. Sebab Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah halal haram, yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Bukan kemanfaatan atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis.

Allah SWT berfirman :

“Berilah keputusan di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah” (Al Maaidah : 48)

Syaikh An Nabhani menjelaskan ayat ini dalam Muqaddimah Dustur, bahwa ukuran perbuatan adalah apa yang diturunkan oleh Allah, bukan konsekuensi-konsekuesi yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas manusia.

Selain itu, Allah SWT telah memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan-Nya, yaitu Syari’at Islam. Allah SWT berfirman :

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) selainnya…” (Al A’raaf :3)

Mafhum Mukhalafah (pengertian kebalikan) dari ayat di atas adalah, janganlah kita mengikuti apa yang tidak diturunkan Allah, termasuk manfaat-manfaat atau kegunaan-kegunaan yang muncul sebagai konsekuensi dari aktivitas kita, sebab semuanya bukan termasuk apa yang diturunkan Allah.

Allah SWT juga telah berfirman :

“Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia…” (Al Hasyr : 7)

Mafhum Mukhalafah ayat ini adalah, janganlah kita mengambil apa saja (pandangan hidup) yang tidak berasal dari Rasul, termasuk ide Pragmatisme. Ide ini tidak berasal dari Muhammad Rasulullah saw, tetapi dari orang-orang kafir yang berasal dari Eropa dan Amerika.

Jelas, bahwa Pragmatisme bertentangan dengan Islam. Sebab ukuran perbuatan dalam Islam adalah perintah dan larangan Allah, bukan manfaat riil suatu ide untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Namun demikian, bukan berarti Islam tidak memperhatikan kemanfaatan. Islam terbukti telah memperhatikan aspek kemanfaatan, seperti misalnya sabda Rasulullah saw :

“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HSR. Muslim)

Benar, Islam memang memperhatikan kemanfaatan, tetapi kemanfaatan yang telah dibenarkan oleh syara’, bukan kemanfaatan secara mutlak tanpa distandarisasi lebih dulu oleh syara’. Hal ini karena nash-nash yang berhubungan dengan manfaat tidak dapat dipahami secara terpisah dari nash-nash lain yang menegaskan aspek halal haram. Maka, kemanfaatan yang diperhatikan oleh Islam adalah kemanfaatan yang dibenarkan oleh syara’, bukan sembarang manfaat.

Jadi, ketika dinyatakan bahwa standar perbuatan adalah syara’, dan bukan manfaat, maka hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan aspek kemanfaatan. Tetapi maknanya adalah, manfaat itu bukan standar kebenaran untuk ide atau perbuatan manusia. Sedang kemanfaatan yang dibenarkan Islam, yakni yang telah diukur dan ditakar dengan standar halal haram, maka itu adalah manfaat yang yang dapat diambil oleh manusia sesuai kehendaknya.

7. Dekonstruksi Pragmatisme, Suatu Kewajiban

Pragmatisme adalah ide batil dan ide kufur yang sangat mungkar, karena ide tersebut dibangun di atas landasan ideologi yang kufur, dihasilkan dengan metode berpikir yang tidak tepat, serta mengandung kerancuan dan kekacauan pada dirinya sendiri.

Oleh karena itu, karena Pragmatisme adalah suatu kemungkaran, maka seorang muslim wajib menghancurkan dan membuang Pragmatisme dengan sekuat tenaga serta melawan siapa saja yang hendak menyesatkan umat dengan menjajakan ide hina dan berbahaya ini di tengah-tengah umat Islam yang sedang berjalan menuju kepada kebangkitannya.

8. Tinjaun Kritis lainnya

Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.

Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.

Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.

Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.

Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.

Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.

Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.

V. Aliran Rekonstruksionisme

A. Pendahuluan

Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggeris rekonstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.

Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang scrasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya mem­bina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan kerjasama antar ummat manusia.

B. Tokoh-tokoh Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg

C. Tempat Asal Aliran Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.

D. Pandangan Rekonstruksionisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.

Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.

Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam bakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan bakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, semen tara itu kenyataan bathin segera diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sarna sekali sunyi dan substansi.

Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung padii ilmt pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.

E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Rekonstruksionisme

1. Pandangan secara Ontologi

Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada di mana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus menam pakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti bewan dan tumbuhan atau benda lain disekeiling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita badapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunnyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.

Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri.

2. Pandangan Ontologis

Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan man usia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) ten tang pengertian "nilai" tidak terbatas.

Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Ke­mudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.

Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pad a prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran un sur keindahan universal yang abadi, maha indah dan Tuhan.

Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.

Dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi pada abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi Tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama scholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu di alam nyata ini diluar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian didukung oleh Thomas Aquinas yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang hams berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.

3. Pandangan Epistemologis

Kajian epsitemologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan akal di bawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.

Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.

Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pernikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.