Selasa, 24 Juni 2008

Sun 11th Jun, 2006, Artikel

Seks Bebas Masuk Sekolah Salah Siapa?

oleh: Anas Nashrullah KH SH*

SYAHDAN, masyarakat Indonesia pada beberapa bulan terakhir ini dikejutkan oleh berita heboh, yang memalukan sekaligus mencoreng dunia pendidikan Indonesia. ’Praktek Seks Bebas Sebelas Siswa SMA 2 Cianjur Bersama Gurunya‘.

Sebuah lembaga yang semestinya mencetak generasi bangsa yang bermartabat dan bermoral, seorang guru menjadi sutradara sekaligus kameramen blue film dengan menghadirkan pemeran utama sebelas pasang anak muda berseragam abu-abu putih yang nota bene adalah siswanya.

Bagi Bupati Cianjur, kejadian ini merupakan pukulan hebat yang dialamatkan kepadanya, ini disebabkan kejadian asusila tersebut terjadi di jantung kota Kabupaten Cianjur Jawa Barat (tidak jauh dari Masjid Raya Cianjur), lebih tragisnya lagi kejadian ini terjadi di kota yang sedang mempersiapkan penerapan Syari‘at Islam, dengan mengusung slogan Gerbang Marhamah, bahkan disebutkan, Bupati Cianjur merekomendasikan kepala sekolah SMA 2 dicopot, karena dianggap tidak mampu membimbing dan membina anak didiknya (Republika, (25/11).

Mencuatnya kasus asusila tersebut, penulis berupaya menggaris bawahi dari pada indikator yang menyebabkan terjadinya prilaku yang menyimpang melalui pendekatan psikologis. Setidaknya ada beberapa indikator yang mengharuskan fenomena tersebut terjadi, diantaranya adalah pertama muatan materi agama yang masih minim.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya muatan materi pengetahuan agama pada kurikulum sekolah umum hanya diberikan dua jam saja dalam satu minggu. Mari kita bersepkulasi, andai saja dalam seminggu guru mengajarkan secara penuh materi agama, belum menjadi jaminan siswa memahami dan mempraktekkan dalam kehidupannya, apalagi jika dalam satu minggu guru tidak masuk atau hanya satu kali.

Materi/ajaran agama tidak saja melulu menerangkan masalah ubudiyah yang sifatnya wajib, atau doktrin jihad, namun lebih dari itu ajaran agama mengajarkan kita masalah moralitas, untuk berprilaku baik terhadap orang tua, keluarga, bergaul dengan komunitasnya dan orang banyak, menghargai sesama makhluk dan memprilakukan dengan baik lingkungan sekitarnya, terlebih mengenai hubungannya dengan Sang Pencipta. Karena pada dasarnya seluruh agama yang ada, tidak membenarkan ummatnya melakukan seks bebas secara berramai-ramai. Bukankah moralitas bangsa ditentukan oleh moralitas masyarakatnya?

Kedua doktrin hidup bebas dan serba glamour seolah menjadi ideologi anak muda. Pada masa muda, terlebih bagi keluarga yang berada, masa muda merupakan masa indah, yang disesalkan jika tidak dimanfaatkan dan dilewatkan meski sedetikpun.

Kebebasan merupakan ideologi dalam berprilaku, dan apa yang dilakukannya merupakan sebuah kebenaran. Gaya hidup mereka, disamping disebabkan kurangnya pengetahuan terhadap ajaran agama, juga kurangnya perhatian dari pihak keluarga, belum lagi serbuan yang menyerang imajinasi remaja usia labil yang terus memberondong dari mulai ia keluar rumah melalui gambar-gambar, pamlet, iklan-iklan di media cetak atau elektronik ditambah lagi dengan sajian sinetron remaja yang mereka tonton di televisi.

Keterjerumusan usia pelajar (baca: anak muda) pada dunia seks tidak dipungkiri merupakan hasil dari rasa keingintahuan terhadap seks itu sendiri, yang mereka dapatkan dari media-media, video cassete disk dan fasilitas lainnya. Yang tanpa disadari dengan sekali melakukan, ia akan terjerumus pada pecandu seks bebas.

Ketiga guru hanya sebagai pengajar bukan pendidik. Pada kondisi perekonomian Indonesia yang carut marut, harga bahan bakar dan bahan pokok melambung tinggi, sedangkan pendapatan bulanan hanya cukup untuk beberapa hari saja, tidak pelak lagi, kondisi ini
hanya akan mengantarkan masyarkat pada tahap kefrustasian. Tidak salah jika profesi seorang guru merupakan profesi pertama yang merasakan imbasnya.

Maka kemudian yang terjadi adalah, guru yang seyogyanya sebagai pendidik siswanya ûbaik di lingkungan maupun di luar sekolah, hanya berfungsi sebagai pengajar di kelas. Mari kita bicara jujur, hanya dengan beberapa ribu yang diterima oleh para guru, hanya mampu menghidupkan keluarganya selama beberap hari saja.

Kemudian pertanyaan yang timbul adalah dari mana mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya? Sekarang mari kita berapologi, fungsi seorang guru yang pengajar memiliki peran ganda dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya; biaya makan, biaya sekolah, transportasi ke sekolah, beli obat dan lainnya, yaitu di samping ia sebagai pengajar di kelas, juga ia sebagai pengojek yang (bisa jadi) menjemput siswanya pulang sekolah, mengantar orang tua murid ke pasar atau kantor.

Betul jika guru memiliki peran ganda, yaitu seorang pengajar juga pengojek. Maka kemudian pertanyaan yang timbul adalah, tanggung jawab siapa prilaku siswa di luar sekolah?
Keempat meski dianggap argumen klasik, tapi kadang problem yang ditimbulkan dalam keluarga mendominasi dari timbulnya prilaku menyimpang pada diri anak. Prilaku menyimpang anak usia pelajar tidak sepenuhnya kesalahan anak, tapi bisa saja disebabkan keharmonisan dalam keluarga mulai menipis dan menghilang.

Keributan orang tua di depan mata putra-putrinya sudah menjadi tontonan, layaknya mereka melihat adegan ribut dalam sinetron/film Indonesia. Tanpa disadari bahwa apa yang dilakukan orang tua di depan anaknya sudah menghancurkan psikolgis sang buah hati, maka dalam kondisi keputusasaan usia pelajar sangat mudah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, meskipun berakbiat fatal.

Dari pemaparan di atas penulis mengajak untuk bersepkulasi, lalu siapa yang patut disalahkan dengan kejadian seks bebas di kota gerbang marhamah tersebut? Sekolah yang memberi porsi agama sangat minim, pelajar yang mengikuti arus globalisasi hidup bebas, guru yang berpenghasilan sedikit kemudian berperan ganda, sebagai pengajar dan pengojek, atau aksi keributan orangtua di depan anaknya dan bersikap acuh terhadap anaknya?

Terlepas dari itu semua, sejenak kita merenungi harapan Menteri Pendidikan Nasionan Republik Indonesi yang disampaikan pada hari jadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di beberapa media eletronik, bahwa lembaga pendidikan seharusnya dapat melahirkan
generasi bangsa yang berintelektual tinggi dalam menghadapi dan menjawab tantangan di era globalisasi.

Lebih penting dari itu semua, seyogyanya pemerintah, guru dan orang tua mengambil pelajaran berharga dari kasus prilaku asusila sebelas siswa dan gurunya, dengan mewujudkan sebuah kemanunggalan yang tak terpisahkan dalam membentengi moral generasi bangsa dengan menunjang kebutuhan para pahlawan tanpa jasa, dan menjadi tauladan bagi putra-putri generasi penerus bangsa tersebut. (*)

Anas Nashrullah KH SH*, Direktur HARAMAIN Education Centre, Depok

http://www.bangkapos.com/opini.php?id=551

Tidak ada komentar: