Jumat, 04 Juli 2008

insan bereksistensi

Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)

Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).

Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002).

Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

B. Hakekat manusia

Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)

Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)

Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus;

Ruh Tuhan + Lempung Busuk Manusia

Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan.(‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001)

Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.

Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia

No

Eksistensi manusia

Esensi Kesadaran Fitrah (Basic Human Drives)

Basic Human Values (Basic Islamic Values)

Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs)

1

Al Insan

Rasa ingin tahu

Intelektual

Intelektual

2

Al Basyar

Rasa lapar, haus, dingin

Biologis

Biologis

3

Abdullah

Sara ingin berterimakasih dan bersykur kepada tuhan

Spiritual

Spiritual

4

An-Nas

Rasa tahan sendiri dan menderita dalam kesepian

Sosial

Sosial

5

Khalifah fil ardli

Butuh keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan

Estetika

Estetika

Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.

C. Kedudukan dan peran manusia

Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.

D. Tujuan hidup manusia

Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi’raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.

demokratis bermasyarakat

Demokrasi pada prinsipnya merupakan suatu kategori dinamis, bukan statis. Demokrasi tampak sebagai konsep yang universal. Anders Uhlin (1997: 10) menyatakan bahwa implementasi demokrasi di suatu negara dapat berbeda dengan negara lain, karena karakteristik sosial masyarakat dapat mempengaruhi penerapan nilai-nilai demokrasi yang universal tersebut. Demokrasi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa belum tentu dengan pola yang sama dapat diimplementasikan di negara Asia dan Afrika. Bahkan, pemilu yang dilaksanakan di Jerman memiliki perbedaan dengan pola yang diterapkan di Inggeris. Oleh karena itu, demokrasi pada dasarnya culturally bounded ketika diterapkan dalam suatu masyarakat.

Gagasan seputar demokrasi selalu ada perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, suatu negara dapat disebut demokratis, jika dalam negara tersebut sudah berkembang proses-proses menuju kondisi yang lebih baik dalam pelaksanaan supremasi hukum, penegakkan HAM dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan prinsip kesadaran dalam konteks pluralisme.

Bung Hatta (1902-1980), salah seorang The Founding Fathers of the Republic menyatakan bahwa negara ini hanyalah negara Indonesia apabila dalam kenyataannya merupakan milik rakyat. Implementasi nilai-nilai kerakyatan mesti mengejawantah melalui suatu sistem institusional kekuasaan politik yang dikenal dengan demokrasi. Hatta menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan kita pada saat yang sama merupakan perjuangan bagi demokrasi dan bagi kemanusiaan. Penegakkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, versi Hatta, merupakan tujuan yang signifikan dalam pergerakan dan perjuangan bagi perwujudan Indonesia adil dan makmur.

Inilah corak manusia Indonesia, yang dengan semangat kebangsaan yang tinggi, waktu menciptakan suatu sistem demokrasi yang tepat bagi Indonesia merdeka di masa datang. Betapapun juga, cita-cita demokrasi yang banyak sedikitnya bersendi kepada organisasi sosial di dalam masyarakat asli sendiri. Dalam segi politik dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Dalam segi ekonomi dilaksanakan koperasi sebagai dasar perekonomian rakyat, ditambah dengan kewajiban pemerintah untuk menguasai atau mengawasi cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam segi sosial adanya jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia Indonesia yang bahagia, sejahtera, dan susila menjadi tujuan negara. Cita-cita luhur ini, menurut Hatta, tumbuh dengan semangat kebangsaan yang tinggi meretas perjuangan kemerdekaan dan menjadi dasar bagi pembentukan negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Dengan semangat kebangsaan seperti itu, pemerintahan rakyat dijalankan menurut peraturan yang telah dimufakati dengan bermusyawarah. Keputusan dicapai secara mufakat, bulat dan tidak lonjong. Hatta menyatakan, “Sebagai tanda Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat, segala beban yang ditimpakan kepada rakyat, maupun beban harta dan keuangan atau beban darah, harus berdasarkan undang-undang, persetujuan Presiden dan DPR” (Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum, h. 12).
Mengacu kepada pemikiran tentang karakteristik dan parameter demokrasi dalam kajian ini, Robert A. Dahl dalam karyanya Dilemma of Pluralist Democracy mengemukakan beberapa kriteria yang mesti terwujud dalam suatu sistem demokratis. Pertama, pengontrolan terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan kepada para pejabat yang terpilih. Kedua, melalui pemilihan yang teliti dan jujur para pejabat dipilih tanpa paksaan. Ketiga, semua orang dewasa secara praktis mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan pejabat pemerintahan. Keempat, semua orang dewasa secara praktis juga mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan dalam pemerintahan, meskipun pembatasan usia untuk menduduki suatu jabatan politik mungkin lebih ketat ketimbang hak pilihnya. Kelima, rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukum yang berat mengenai berbagai persoalan politik pada tataran yang lebih luas, termasuk mengkritisi para pejabat, sistem pemerintahan, ideologi yang berlaku dan tatanan sosio-ekonomi. Keenam, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan dilindungi oleh hukum. Ketujuh, dalam meningkatkan hak-hak rakyat, warga negara mempunyai hak dan kebebasan untuk membentuk suatu lembaga atau organisasi-organisasi yang relatif independen, termasuk membentuk berbagai partai politik dan perkumpulan yang independen. Pemikiran Robert A. Dahl ini menunjukkan tentang indikator sebuah democratic political order sebagai kerangka acuan ada tidaknya perwujudan demokrasi dalam suatu pemerintahan negara.

Selaras dengan wacana di atas, ada juga beberapa hal yang dapat menjadi tolok ukur bagi perkembangan demokrasi dalam suatu negara, meskipun implementasi demokrasi tersebut sangat dinamis dan berlaku universal. Pertama, adanya prinsip musyawarah dalam proses kehidupan politik. Prinsip ini menerima kebebasan berekspresi dan kemungkinan adanya perbedaan pendapat. Dalam musyawarah, tegas Hatta, ada ketulusan dalam sikap kompromistik untuk mencari opini terbaik. Semangat untuk berkompromi dan adanya rekonsiliasi (ishlah) dijunjung tinggi dalam suatu masyarakat yang sedang berproses menuju demokrasi.

Kedua, prinsip kesadaran terhadap adanya pluralisme dalam masyarakat. Dewasa ini masyarakat tengah mengalami perubahan sosial yang sangat cepat, masyarakat yang dinamis, tentu masyarakat berkembang sangat majemuk dan heterogen. Dalam masyarakat yang demokratis, pluralisme selalu dipelihara dan ditumbuhkembangkan, karena merupakan bagian dari khazanah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semangat kebersamaan dan solidaritas yang tinggi. Prinsip ini sangat urgen untuk mengayomi kepentingan bersama dalam semangat kemajemukan untuk merealisasikan pencapaian tujuan dan cita-cita bersama (Nurcholish Madjid, 1999).

Ketiga, prinsip adanya kebebasan menyatakan pendapat dan penegakan HAM. Prinsip ini adalah prinsip dasar dalam kehidupan politik bagi penerapan nilai-nilai demokrasi. Ada aspek egalitarianisme dan i’tikad baik dari setiap orang dan kelompok dalam sikap saling menghargai dan menghormati. Sikap dari prinsip ini menunjang penerapan efisiensi demokratis, karena akan mendorong lahirnya kerjasama yang erat antar warga masyarakat dan mempunyai i’tikad baik secara fungsional dan profesional. Adanya perlindungan terhadap HAM dengan supremasi hukum yang direalisasikan dalam kehidupan politik. Dalam negara Republik Indonesia, tegas Hatta, hak-hak warga negara telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Keempat, prinsip kesesuaian antara cara dengan pencapaian tujuan. Dalam prinsip ini, tujuan yang baik tentu ditempuh dengan cara-cara yang baik dan rasional. Implementasi prinsip ini memang dibarengi oleh suatu standar moral politik yang tinggi, karena dalam demokratisasi politik, dibutuhkan suatu tingkat kepercayaan yang tinggi dari rakyat.

Kelima, prinsip pemufakatan yang jujur dan transparan. Refleksi dari prinsip ini menghasilkan penerapan sistem yang jujur, terbuka, dan transparan. Prinsip ini menolak cara-cara pemufakatan yang ditempuh dengan cara merekayasa, manipulasi, atau teknik-teknik yang curang serta memasung nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam prinsip ini kepentingan bersama mengatasi kepentingan individu dan golongan.

Keenam, prinsip pemenuhan kebutuhan ekonomi dan perencanaan sosial-budaya. Dalam implementasi demokrasi dalam suatu negara, bagaimanapun tidak dapat dipisahkan dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu warga negara. Prinsip ini sangat menentukan bagi penerapan kehidupan demokrasi, karena pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat dan pengembangan sosial budaya adalah nilai-nilai asasi dalam demokratisasi politik. Demokrasi ekonomi berimplikasi terhadap perwujudan keadilan sosial, keadilan sosial menuntut kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat, yang menghendaki perwujudan cita-citanya, freedom from want, yakni bebas dari kesengsaraan hidup.

Ketujuh, prinsip penerapan keadilan dalam dinamika kehidupan politik. Keadilan merupakan nilai-nilai substansial dalam nyali kehidupan politik, sedangkan demokrasi merupakan suatu sistem yang representatif untuk merealisasikan keadilan itu. Kesempatan yang sama diberikan kepada setiap warga negara dalam berbagai bidang tanpa diskriminasi apa pun. Partisipasi rakyat sangat luas dalam sistem ini dan kontrol rakyat akan melahirkan pemerintahan dengan akuntabilitas politik yang tinggi.

Karakteristik suatu negara disebut demokratis, selain mengacu kepada prinsip-prinsip di atas, dapat diformulasikan berikut ini.

Pertama, adanya rotasi kekuasaan yang teratur dan damai. Pergantian pemerintahan berlangsung sesuai dengan sistem dan mekanisme yang terbuka dan transparan, teratur dan damai, (Charles Kurzman (ed.), 2003: 127).

Kedua, terlaksananya pemilihan umum berkala yang jujur, adil, terbuka, dan bebas (free and fair elections). Pemilu dilaksanakan secara periodik. Setiap warga negara mempunyai hak dan kebebasan memilih dan dipilih, tanpa ada paksaan, teror dan intimidasi.

Ketiga, adanya kebebasan berbicara (freedom of speech) dan jaminan terhadap hak-hak dasar sebagai warga negara dan penegakan supremasi hukum. Di Indonesia kebebasan dan hak-hak warga negara secara konstitusional, antara lain tertera dalam Pasal 26, 27, 28, 33, 34 Undang-Undang Dasar 1945, yang secara serius diperjuangkan Hatta. Adanya kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, serta kebebasan politik dalam day to day politics (kehidupan politik sehari-hari). Hak-hak ini sangat urgen dalam menyatakan preferensi politik dalam kehidupan bernegara serta sangat signifikan dalam mengontrol perilaku para pemegang jabatan publik agar sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

Keempat, rekrutmen politik berlangsung secara terbuka. Adanya rotasi kekuasaan politik berkaitan erat dengan suatu sistem rekrutmen yang terbuka. Kesempatan dan peluang untuk menduduki suatu jabatan bagi setiap warga negara berlaku sama tergantung pada kapasitas dan kapabilitas yang bersangkutan dalam jabatan publik. Pengisian jabatan berlangsung terbuka dan transparan serta tidak tertutup atau ditentukan oleh sekelompok elite saja.

Kelima, adanya akuntabilitas politik. Setiap pemegang jabatan dalam sistem demokrasi, dipilih oleh rakyat dan mesti mempertanggungjawabkannya sesuai dengan kepentingan rakyat yang memilihnya. Hatta menyatakan bahwa pemerintahan tersebut didasarkan pada pertanggungjawaban yang signifikan dan luas kepada rakyat.

Dengan demikian, sistem politik yang demokratis, secara substansial dapat ditegakkan di dalam masyarakat yang memiliki norma-norma politik yang demokratis pula. Oleh karena itu, menuju sistem demokratis tersebut, transisi dan perubahan ke arah itu amat diperlukan dalam suatu masyarakat. Ada beberapa aspek yang sangat mendasar dalam proses demokratisasi politik sebagai standar bagi adanya “a workable democracy” (demokrasi yang dapat berfungsi), yakni adanya kepatuhan kepada formalisme aturan, prosedur dan mekanisme politik; konflik dipahami sebagai sesuatu yang wajar saja dan diselesaikan secara kelembagaan dan damai; serta adanya impersonalisasi kekuasaan. Atas dasar ini, informalisme prosedur politik, sakralisasi kekuasaan dan otoriterisme, serta nilai-nilai feodalistik berimplikasi besar bagi penghambatan penciptaan sistem politik yang demokratis.

kemanusiaan,adil, dan demokrasi

keadilan


Orang kini semakin menyadari bahwa keadilan merupakan masalah penting dan mendesak untuk ditangani dalam kehidupan bersama. Sentimen ini telah lama disuarakan, John Rawls, misalnya, menyatakan bahwa keadilan merupakan kebajikan utama institusi-institusi sosial. Kata Rawls, ’sebuah teori, betapapun elegan dan ekonomis, harus ditolak atau diperbarui jika tidak benar; demikian juga, hukum dan institusi betapapun efisien dan tersusun dengan baik, harus dihapus atau diperbarui jika tidak adil’.

Seluruh nilai politik dan tatanan sosial kita karena itu perlu diukur menurut dan berlandaskan pada keadilan. Teori perdamaian demokrasi (democratic peace theory), misalnya, menyebutkan bahwa perdamaian hanya mungkin terjadi jika setiap negara atau masyarakat menjadi demokratis. Tetapi teori ini nampaknya akan tetap menjadi perdebatan, karena demokrasi terbukti bisa menjadi sangat ambisius. Kelompok atau negara dapat, atas nama demokrasi, memaksakan nilai-nilainya kepada kelompok atau negara lain justru atas nama demokrasi. Karena itu, bukan demokrasi yang harus jadi prioritas, tetapi keadilan.

Para pemikir keadilan seperti John Locke, Thomas Paine, John Rawls, Ronald Dworkin, Robert Nozick, Michael Walzer, Karl Marx, Amartya Sen, Susan Okin, Thomas Pogge dengan caranya masing-masing telah merubah dan memperbaharui berbagai ragam tradisi ideologis yang mereka wakili. Kita perlu memperhatikan pandangan mereka tentang nilai-nilai (values) yang mendasari kehidupan politik, visi mereka tentang “masyarakat yang baik” (good society) dan pertanyaan tentang apa prinsip-prinsip keadilan (principles of justice) dan bagaimana mengembangkaan distribusi kekayaan (resources) yang adil.

Kajian secara secara saksama atas pandangan mereka dapat memperkaya wacana dan pemahaman tentang berbagai masalah keadilan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Sebab, masalah keadilan juga telah menjadi masalah mendesak dan harus segera ditangani di Indonesia. Penilaian mengatakan bahwa meskipun Pancasila sebagai dasar negara mengandung nilai keadilan, namun, diantara kelima sila dari Pancasila, keadilan merupakan sila yang paling sial. Kenapa demikian?

Apakah itu, seperti dikatakan sejumlah kalangan, karena Pancasila ’belum memiliki definisi yang jelas secara konseptual maupun operasional mengenai cita-cita, tujuan, serta cara atau mekanisme untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang diinginkan’?

Benarkah, sebagai wawasan politik, Pancasila terlalu normatif dan tidak menjangkau persoalan-persoalan ekonomi dan sosial yang kongkrit, seperti kemiskinan dan keadilan sosial, dan karena itu, dibandingkan ideologi-ideologi semacam Marxisme, Sosialisme, Liberalisme atau bahkan ekonomi Islam, Pancasila menjadi terlalu lemah?

Keadilan perlu dikaji dan dikembangkan secara saksama terutama karena bukti memang menunjukkan adanya bentuk-bentuk ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat di Indonesia dan juga dalam konteks hubungan internasional dengan implikasi-implikasi yang sangat serius terhadap keamanan, stabilitas, kohesi sosial dan secara umum kelangsungan hidup manusia di masa depan.


Nilai - Nilai Estetika Pendidikan

Nilai yang adil,demokrasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dalam konteks bela negara.

HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.

Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.

Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis. Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.

Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.

Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.

Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.

Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:

1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya.

2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah.

3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi.

4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu.

5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat.

8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia.

9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain.

11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan.

12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat.

14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun.

15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia.

16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya.

17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum.

18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkem­bangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.

22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral ke­ma­nu­siaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan men­ja­min kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk me­me­luk dan menjalankan ajaran agamanya.

23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, ter­utama pemerintah.

24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi ma­nusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, ma­ka pelaksanaan hak asasi manusia dija­min, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk xe "Komisi Nasional Hak Asasi Manusia"Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat inde­penden menurut ketentuan yang diatur dengan undang-un­dang.

26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da­lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara.

27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:

1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:

a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.

b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.

c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.

d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.

f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.

g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.

h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

j. Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.

k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.

l. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.

m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.

Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.

2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya

a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.

b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.

c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.

d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.

e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.

f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.

g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.

h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.

i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.

j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.

k. Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa.

l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.

m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya.

3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan

a. Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.

b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.

c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.

d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.

e. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.

f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.

g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).

4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia

a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.

c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.

d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia. Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseim­bangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Bangsa Indonesia memahami bahwa xe "The Universal Declaration of Human Rights"The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa xe "The Universal Declaration of Human Responsibility"The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesa­daran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu di­adop­sikan ke dalam rumusan Undang-Un­dang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikem­bangkan sen­diri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi­kiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan menca­kup pula pemi­kiran-pemikiran yang masih terus akan ber­kem­bang di masa-masa yang akan datang


Nilai –Nilai Pendidikan

BAHASA menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang sarkasme, menghujat, memaki, memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi, mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang tak berbudi.

Tepatlah bunyi peribahasa, "bahasa menunjukkan bangsa". Bagaimanakah sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa tersebut? Apakah ia termasuk bangsa yang ramah, bersahabat, santun, damai, dan menyenangkan? Ataukah sebaliknya, ia termasuk bangsa yang senang menebar bibit-bibit kebencian, menebar permusuhan, suka menyakiti, bersikap arogan, dan suka menang sendiri.

Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu suatu kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran di lembaga pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan yang dianggap paling strategis adalah pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di sekolah. Dalam KTSP, bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika. Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari kelompok agama dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral.

Kelompok mata pelajaran estetika sendiri bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan itu mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mesyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.

Tujuan rumpun estetika tersebut dijabarkan dalam pembelajaran yang bertujuan agar peserta didiknya memiliki kemampuan antara lain

(1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis

(2) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. Tujuan tersebut dilakukan dalam aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

etika dan estetika yang berbudaya dalam pendidikan

etika dan estetika dalam pendidikan yang berbudaya

PENDIDIKAN merupakan sebuah indikator penting untuk mengukur kemajuan sebuah bangsa. Jika sebuah bangsa ingin ditempatkan pada pergaulan dunia dalam tataran yang bermartabat dan modern, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang memiliki relevansi dan daya saing bagi seluruh anak bangsa. Mengapa demikian? Karena pendidikan merupakan gerbang untuk memahami dunia sekaligus gerbang untuk menguasai pola pikir dan kultur spesifik di dalam pergaulan global.

Dalam perspektif politik pendidikan, seorang filosofi Yunani abad pertengahan mengatakan bahwa penaklukan dunia ditentukan oleh seberapa jauh pendidikan suatu bangsa dapat dicapai dan seberapa maju bangsa-bangsa bersangkutan menguasai ilmu pengetahuan. ini berarti sebagai simbol kemajuan peradaban bangsa, penguasaan ilmu pengetahuan menjadi sangat penting bahkan menjadian sebuah pra-kondisi imperatif bagi keunggulan sebuah bangsa. Dalam bahasa budaya, Geertz bahkan menganggap penguasaan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ekspresi kemajuan berpikir dan berperilaku sebuah bangsa.

Sebagai bagian tidak terpisah dari sistem kehidupan masyarakat, pembangunan pendidikan sekaligus juga menjadi indikator penting dari proses pembangunan karakter bangsa. Karena itu, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus merupakan upaya mengagungkan martabat dan perilaku bangsa,secara menyeluruh. Kemajuan-kemajuan pendidikan yang dicapai mencerminkan bagaimana bangsa tersebut menghargai dan melindungi martabatnya di antara pergaulan masyarakat dunia.

Dengan demikian, tidak berlebihan pula jika cara berpolitik dan sopan-santun di dalam pergaulan antarbangsa sangat dipengaruhi tingkat pendidikan yang dimiliki dan berhasil dicapai sehingga secara umum berpengaruh di dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat bangsa bersangkutan. Bahkan, taraf pendidikan yang dimiliki suatu bangsa dapat memberikan gambaran bagaimana sebuah Bangsa itu berkarakter dan berprilaku.

Tingkat pendidikan masyarakat dan terutama para pemegang kekuasaan secara semantik mempengaruhi bagaimana para penguasa memandang dan bersikap dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul. Inilah yang disebut di dalam politik pendidikan sebagai bagian perilaku santun yang menjadi kontrol penting etika kebijakan dalam pertarungan kepentingan politik yang terus mengalami dinamika.

Memartabatkan pendidikan tidak berarti menempatkan nilai etis pendidikan di atas tata nilai lainnya di dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi bahkan budaya. Memartabatkan pendidikan berarti memberikan nilai rasa estetis kolektif maupun individual pada sisi perilaku dan etika pergaulan yang lebih bermartabat.

Ini berarti bahwa di dalam konteks mengembangkan hubungan-hubungan antarindividu maupun kolektif penting menempatkan pendidikan yang mengandung nilai etis dan estetika secara benar dan berbudaya. Sebut saja Prancis, Jerman, Jepang atau Cina yang menempatkan diri pada jajaran penting pergaulan dunia karena menjadikan pendidikan sebagai bagian etis dalam pembangunan bangsanya dan menjadi ukuran penting dalam membangun relasi-relasi global dalam konteks kepentingan yang luas.

Secara umum, nilai etis pendidikan yang menjadi dasar penting pergaulan dunia yang tebih bermartabat tersebut pada gifirannya mengandung unsur-unsur nilai yang menempatkan bangsa bersangkutan sebagai bagian pergaulan dunia yang disegani bahkan seringkali dijadikan sebagai 'ikon' kemajuan bangsa-bangsa di dunia.

Meskipun demikian, tidak dipungkiri pula bahwa dominasi politik di dalam menentukan prioritas pembangunan nasional yang bersifat monologis seringkali menjadi sangat menentukan arah pengembangan dan karakter pendidikan yang direncanakan. Dan pada gilirannya menentukan arah pendidikannya berdasarkan kepentingan-kepentingan politis praktis.

Demikian juga dengan Bangsa Indonesia yang sedang berjuang menjadi bagian pergaulan bangsa-bangsa yang lebih global. Dalam konteks ini, berbagai upaya telah dilakukan terutama di dalam memperkuat karakter bangsa melalui pembangunan pendidikan nasional. Pengentasan kemiskinan dan wajib belajar sembilan tahun merupakan salah satu upaya penting dalam mengangkat martabat bangsa ini di mata internasional.

Keterbelakangan yang telah menghimpit Bangsa Indonesia selama berabad-abad telah menjadi pengalaman 'buruk' kita. Dengan demikian kita harus memacu pembangunan pendidikan yang lebih bermartabat. Karena hanya inilah cara kita agar dapat menjembatani dan menyatukan perbedaan karakter dan budaya bangsa yang sangat majemuk. Inilah cara kita membangun kembali citra kita yang berkarakter kuat sebagai bagian peradaban dunia yang memiliki nilai-nilai adiluhung sebagaimana termanifestasi di dalam lambang Negara Republik Indonesia.

Dari sisi politik, pendidikan merupakan jembatan menuju masyarakat demokratis yang meleburkan berbagai perbedaan kepentingan. Realitas ini dapat dilihat dari leburnya perbedaan kasta, derajat budaya atau perbedaan kepentingan politik ke dalam nilai-nilai komunikasi yang bersifat monologis nasionalistik. Untuk itu, pendidikan merupakan satu-satunya jalur yang dianggap mampu menjembatani perbedaan-perbedaan kultural di dalam keanekaragaman etnis dan budaya bangsa Indonesia.

Hal inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia lebih mampu memahami dirinya dan sekaligus merekatkan perbedaan-perbedaan dalam upaya mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia yang memiki kompleksitas kepentingan, nilai budaya, dan karakter masyarakat yang beragam.

Di samping itu, pendidikan juga harus mampu membangun identitas kultural bangsa yang lebih kuat sehingga dapat menempatkan bangsa ini sebagai bagian penting pergaulan dunia yang lebih luas. Di dalam konteks yang lebih global, nilai-nilai yang dibangun secara holistik akan merasuk ke dalam tata nilai dan pergaulan dunia yang lebih berkarakter. Untuk itu, di dalam kerangka memperkuat posisi tawar bangsa, maka perlu dukungan dari seluruh komponen bangsa termasuk di dalamnya adalah dukungan politik di dalam pembangunan pendidikan nasional yang lebih luas.

Penghargaan bidang pendidikan di dalam pergaulan global harus dimulai dari penghargaan yang diberikan oleh bangsa Indonesia sendiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa dan mau menghargai dirinya sendiri dan nilai-nilai komunikatif yang terkandung di dalam perilaku budayanya. Inilah satu satunya cara untuk memperkuat posisi tawar kita di dalam pergaulan global. Semoga apa yang kita cita-citakan dalam membangun pendidikan anak-anak bangsa ini dapat menempatkan kita pada tingkat pergaulan yang lebih bermartabat, berharkat, dan berkarakter.(*)



etika berbudaya

MENCIPTAKAN MASYARAKAT BERETIKA DAN BERBUDAYA

Negeri ini nampaknya berada dalam satu puncak kerisauan dan kebingungan hanya untuk menentukan atau menyatakan realitas dirinya yang sesungguhnya. Yang setidaknya ia percayai “sesungguhnya”. Hingga di tingkatan individual. Secara individual, sebagai misal, kita masih selalu percaya untuk mengatakan bahwa “saya adalah orang Indonesia”, tanpa satu kapasitas untuk mengatakan “Indonesia apa, yang mana, yang bagaimana?”, saya “apa, siapa, dari mana, mau kemana”, dan seterusnya.eninggal?

Etiskah seseorang berkunjung ke rumah orang lain, pada lewat tengah malam? Di sini kita menggunakan patokan-patokan yang bersifat umum. Dan apa yang etis atau tidak etis di dunia kampus tadi, bisa juga berlaku di masyarakat di luar dunia kampus. Dengan begitu suatu corak tingkah laku dipandang etis dan tidak etis berdasarkan ukuran-ukuran umum tadi.

Ada pula etika dalam tata pemerintahan. Dalam prinsip good governance, suatu tindakan disebut etis, bila, antara lain, tindakan itu serba jelas, transparan, mudah dikontrol, dapat dipertanggungjawabkan secara publik, dan terbuka untuk menerima dan mengakomodasi partisipasi orang banyak.

Dalam bingkai aturan semacam itu, dipandang tidak etis, bahkan dapat juga dipersalahkan secara hukum, bila diam-diam seseorang memasukkan anggota keluarganya sendiri di dalam keikutsertaan suatu tender di kantor di mana seseorang itu bekerja. Bahkan bila ia pimpinan kantor tersebut. Ini tidak etis, bahkan dapat dipersalahkan secara hukum, karena terdapat di dalamnya unsur KKN, yang dapat mengundang penyimpangan lebih jauh, dan lebih berbahaya: memenangkan anggota keluarga di dalam tender, untuk bisa menyimpangkan uang kantor ke dalam aliran uang keluarga.

Patut dicatat bahwa ukuran etis dan tidak etis ada kalanya tak dapat dipisahkan dari ukuran benar dan salah secara hukum. Di sini etika sekaligus tampil dalam corak norma. Khususnya norma hukum yang memiliki sanksi-sanksi lebih tegas daripada teguran dari sudut pantas dan tidak pantas, atau etis dan tidak etis.

Tentu saja ada etika dalam relasi-relasi politik antara suatu partai politik dengan partai politik lain, antara DPR dengan pemerintah, atau antara presiden dengan wakil dan para pembantunya. Di luar kehidupan politik masih banyak lagi corak aturan etis.

Ukuran etis, patut dan tidak patut, layak dan tidak layak, nista atau mulia, memalukan atau tidak perlu dianggap malu, semuanya merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan dalam hidup kita. Bagi manusia yang “berbudaya”, yang menjaga tata aturan hidup dari urusan sopan dan tidak sopan, layak dan tidak layak, maka perkara malu dan tidak malu, pantas dan tidak pantas, nista atau mulia, merupakan perkara penting dan sensitif, dan dijaga dengan baik agar segenap tingkah lakunya tak tercemar dari sudut etika tadi.

Menjadi jelas bagi kita bahwa etika merupakan bagian dari kompleksitas unsur-unsur kebudayaan. Ada banyak unsur kebudayaan lain. Norma, sistem nilai, pandangan dunia, filsafat, kesenian, ilmu pengetahuan, ekonomi, cita rasa, tingkah laku, sikap, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan setempat, dan juga agama, dapat dianggap contoh-contoh yang dapat memperjelas persolaan kebudayaan.

Dengan uraian ini saya hendak menegaskan bahwa etika dan kebudayaan, atau etika tersendiri dan kebudayaan tersendiri pula, pada dasarnya dapat diciptakan. Dalam disiplin antropologi disadari bahwa manusia, setiap saat pada dasarnya di sibukkan oleh urusan menciptakan etika, norma, tradisi, maupun pandangan dunia. Dengan ringkas dapat dikatakan, kita selalu sibuk menciptakan kebudayaan, karena suatu corak kebudyaan tertentu—di dalamnya ada etika tadi—sering mengalami proses pelapukan, memudar, tak lagi akomodatif, dan tertinggal dari perkembangan zaman yang terus berputar dan berubah secara sangat cepat. Kita membutuhkan sikap, cara pandang, perilaku, nilai-nilai, etika, norma dan tradisi yang lebih baru, yang dapat memberi kita rasa nyaman dalam merespon perkembangan zaman tadi.

Dengan kata lain kita membutuhkan kebudayaan—sekaligus dengan unsur etikanya tadi—untuk bisa menjaga kelangsungan hidup di tengah perputaran dan perubahan-perubahan zaman. Maka agar kebutuhan itu terpenuhi kita harus kreatif mencipta. Mungkin mencipta etika, hanya sebagian, mungkin mencipta kebudayaan secara keseluruhan.

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa etika—apa yang etis dan tidak etis, pantas dan tidak pantas, atau sopan atau tidak sopan, sering tak terpisah, overlap, dengan norma hukum. Di sini berarti, bila kita menciptakan etika, sekaligus kita menciptakan hukum.

Seorang gubernur melarang anaknya dan semua kerabat dekat dalam keluarganya berbisnis di daerah yang berada dalam cakupan wilayah kekuasaannya, terutama di kantor-kantor karena bila itu di langgar, ia bisa dituduh bukan hanya tidak etis, melainkan juga bisa melanggar hukum dan bisa berakibat serius.

Semua pihak yang terkait dalam keluarga dekat maupun kerabat jauh, menjaga dengan baik seruan sang gubernur, semata menjaga diri dari apa yang tidak etis. Ketika diamalkan dengan baik, hasilnya hanya memelihara etika, Tetapi ketika dilanggar, maka pelanggaran itu menyangkut etika sekaligus hukum.

Ini perkara mencipta suatu corak etika yang berlaku di dalam lingkup sempit, lingkup keluarga. Etika yang dengan bagus pernah berlaku umum lahir dalam bentuk kebijakan politik nasional mengenai keharusan bagi tiap warga negara untuk memiliki dua anak—paling banyak tiga—yang diterjemahkan secara jelas di dalam lingkup penciptaan nilai, menjadi Nilai Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.

Demi berjalannya kebijakan nasional ini, maka penciptaan nilai harus terwujud secara jelas. Maka, bila seorang pejabat, terutama pejabat BKBN sendiri membolehkan istrinya melahirkan lebih dari tiga anak selama masa ia menjabat, maka jelas ia akan mudah dicibir orang banyak—terutama di kantor—karena urusan melahirkan lebih dari tiga anak lalu menjadi urusan etis.

Di sini, melanggar etika terasa lebih pedih, daripada melanggar norma tertentu, biarpun sanksi pelanggaran norma lebih jelas. Kecuali itu, jelas pula di sini bahwa etika bisa diciptakan dalam lingkup yang sempit, maupun dalam lingkup luas—sampai pada tatanan nasional—sebagaimana dicontohkan diatas.

Secara teoritis kita bisa bicara perkara pendidikan mengenai living values—dan dapat juga mengenai living ethics— melalui lingkup sosial yang lebih terbatas. Di sekolah-sekolah tertentu ada ada yang secara sengaja diajarkan nilai demokratis, sikap anti korupsi, sikap pluralis dan watak toleran terhadap agama lain.

Sementara LSM— juga kantor saya, Partnership for Governance Reform— sejak lama menyelenggarakan penataran tentang good governance, transparansi, system budget berbasis gender, sistem pangangggaran berbasis partisipasi. Pada dasarnya semua usaha dan langkah reformasi di sini berkutat pada pendidikan tentang etika pemerintahan.

Di sini jelas, etika dan juga kebudayaan, dapat diciptakan. Mengenai pendidikan tentang living values seperti di sebut diatas, yang terjadi dibeberapa sekolah, pada dasarnya hanya bentuk baru dari apa yang dimasa lalu kita kenal sebagai pendidikan budi pekerti. Di masa lalu kita memiliki pendidikan budi pekerti, yang bersifat etika dan nilai-nilai yang bersifat praktis. Etika diajarkan bukan dalam tingkat diskursus, melainkan melalui praktek nyata.

Tidak etis mengantongi pensil yang ditemukan di halaman sekolah, di jalan yang masih dekat sekolah, apa lagi di ruang-ruang dalam lingkup sekolah. Pensil itu biasanya segera diserahkan kepada guru, dan sang guru akan menyelidiki dengan teliti siapa yang kehilangan pensil: warnanya apa, baru atau lama, kira-kira seberapa panjangnya, merknya apa, ada karet penghapusnya apa tidak, dan seterusnya, sampai dengan sangat yakin bisa dikembalikan pada seorang murid yang memang pemilik pensil tersebut.

Living Values sebagai corak pendidikan lahir dalam konteks kebudayaan ketika kita terdesak kebutuhan-kebutuhan. Voters education pun cermin usaha mencipta norma, nilai dan etika, ketika kita terdesak. Kita menciptakannya secara instant. Dan sifatnya, sekali tercipta untuk sekali berguna, kemudian dilupakan.

Ciptaan tadi tidak sustainable. Kecuali itu semuannya berlaku sangat lokal. Dan tak berpengaruh pada masyarakat di tempat-tempat lain.

Kita dihadapkan pada fenomena mengenai etika, yang dimasa lalu dapat berlaku umum, dan yang pada dewasa ini berlaku pada komunitas-komunitas kecil, lokal dan terbatas.Tidak mengherankan bila kemudian muncul pertanyaan: “Sulitkah menciptakan masyarakat beretika dan berbudaya”.

Etika, nilai, norma, tradisi, dapat diciptakan. Tetapi masyarakat beretika dan berbudaya hanya dapat diciptakan dengan beberapa persyaratan dasar, yang membutuhkan dukungan-dukungan. Ada dukungan politik, ada kebijakan, ada kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan, dan tidak ragu melaksanakan secara konsekuen keputusan itu di bawah, lingkup kepemimpinan yang berani mengambil resiko-resiko.Selebihnya, dibutuhkan pula ruang akomodasi—lokal, nasional—di mana etika diterapkan, dengan kontrol, pengamatan, dan tersedianya pihak-pihak yang bisa memelihara kehidupan etika tersebut.

Pemimpin dan corak kepemimpinan yang mengerti kiblat etika, dan kebudayaan, dan berani memerintah, akan menjadi pendukung terciptanya suatu jenis masyarakat beretika dan berbudaya.Pada tingkat lokal, di kabupaten-kabupaten, kita dapat menjumpai pemimpin seperti itu. Di Sragen ada aturan etis mengenai pemasangan iklan. Etika ini tercampur dengan norma hukum, berupa pelarangan memasang iklan di sepanjang jalan, di pohon-pohon, ditembok-tembok, atau ditiang-tiang listrik.

Etika dan aturan ini dipenuhi dengan taat oleh seluruh warga. Dan iklan diberi akomodasi khusus. Etika dan larangan berjualan ditrotoar jalan-jalan, dipatuhi, bukan terutama karena ditindak tegas secara hukum melainkan karena perasaan bahwa melanggar apa yang tak boleh dilanggar menimbulkan cacat dan cela mengenai ketidakpantasan. Ketaatan masyarakat pada aturan bukan cermin kewajiban syar’i (kesadaran hukum), melainkan karena kesadaran etis, yang tumbuh dari dalam tiap jiwa warga masyarakatnya.

Mengapa kesadaran etis bisa tumbuh? Jawabnya, karena larangan itu disertai akomodasi. Dilarang berjualan di trotoar jalan, tetapi diberi tempat yang bagus ditempat lain. Dan pedagangpun bisa hidup layak dan terhormat! Karena diberi kehormatan oleh pemerintahnya.

Selasa, 24 Juni 2008

Sun 11th Jun, 2006, Artikel

Seks Bebas Masuk Sekolah Salah Siapa?

oleh: Anas Nashrullah KH SH*

SYAHDAN, masyarakat Indonesia pada beberapa bulan terakhir ini dikejutkan oleh berita heboh, yang memalukan sekaligus mencoreng dunia pendidikan Indonesia. ’Praktek Seks Bebas Sebelas Siswa SMA 2 Cianjur Bersama Gurunya‘.

Sebuah lembaga yang semestinya mencetak generasi bangsa yang bermartabat dan bermoral, seorang guru menjadi sutradara sekaligus kameramen blue film dengan menghadirkan pemeran utama sebelas pasang anak muda berseragam abu-abu putih yang nota bene adalah siswanya.

Bagi Bupati Cianjur, kejadian ini merupakan pukulan hebat yang dialamatkan kepadanya, ini disebabkan kejadian asusila tersebut terjadi di jantung kota Kabupaten Cianjur Jawa Barat (tidak jauh dari Masjid Raya Cianjur), lebih tragisnya lagi kejadian ini terjadi di kota yang sedang mempersiapkan penerapan Syari‘at Islam, dengan mengusung slogan Gerbang Marhamah, bahkan disebutkan, Bupati Cianjur merekomendasikan kepala sekolah SMA 2 dicopot, karena dianggap tidak mampu membimbing dan membina anak didiknya (Republika, (25/11).

Mencuatnya kasus asusila tersebut, penulis berupaya menggaris bawahi dari pada indikator yang menyebabkan terjadinya prilaku yang menyimpang melalui pendekatan psikologis. Setidaknya ada beberapa indikator yang mengharuskan fenomena tersebut terjadi, diantaranya adalah pertama muatan materi agama yang masih minim.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya muatan materi pengetahuan agama pada kurikulum sekolah umum hanya diberikan dua jam saja dalam satu minggu. Mari kita bersepkulasi, andai saja dalam seminggu guru mengajarkan secara penuh materi agama, belum menjadi jaminan siswa memahami dan mempraktekkan dalam kehidupannya, apalagi jika dalam satu minggu guru tidak masuk atau hanya satu kali.

Materi/ajaran agama tidak saja melulu menerangkan masalah ubudiyah yang sifatnya wajib, atau doktrin jihad, namun lebih dari itu ajaran agama mengajarkan kita masalah moralitas, untuk berprilaku baik terhadap orang tua, keluarga, bergaul dengan komunitasnya dan orang banyak, menghargai sesama makhluk dan memprilakukan dengan baik lingkungan sekitarnya, terlebih mengenai hubungannya dengan Sang Pencipta. Karena pada dasarnya seluruh agama yang ada, tidak membenarkan ummatnya melakukan seks bebas secara berramai-ramai. Bukankah moralitas bangsa ditentukan oleh moralitas masyarakatnya?

Kedua doktrin hidup bebas dan serba glamour seolah menjadi ideologi anak muda. Pada masa muda, terlebih bagi keluarga yang berada, masa muda merupakan masa indah, yang disesalkan jika tidak dimanfaatkan dan dilewatkan meski sedetikpun.

Kebebasan merupakan ideologi dalam berprilaku, dan apa yang dilakukannya merupakan sebuah kebenaran. Gaya hidup mereka, disamping disebabkan kurangnya pengetahuan terhadap ajaran agama, juga kurangnya perhatian dari pihak keluarga, belum lagi serbuan yang menyerang imajinasi remaja usia labil yang terus memberondong dari mulai ia keluar rumah melalui gambar-gambar, pamlet, iklan-iklan di media cetak atau elektronik ditambah lagi dengan sajian sinetron remaja yang mereka tonton di televisi.

Keterjerumusan usia pelajar (baca: anak muda) pada dunia seks tidak dipungkiri merupakan hasil dari rasa keingintahuan terhadap seks itu sendiri, yang mereka dapatkan dari media-media, video cassete disk dan fasilitas lainnya. Yang tanpa disadari dengan sekali melakukan, ia akan terjerumus pada pecandu seks bebas.

Ketiga guru hanya sebagai pengajar bukan pendidik. Pada kondisi perekonomian Indonesia yang carut marut, harga bahan bakar dan bahan pokok melambung tinggi, sedangkan pendapatan bulanan hanya cukup untuk beberapa hari saja, tidak pelak lagi, kondisi ini
hanya akan mengantarkan masyarkat pada tahap kefrustasian. Tidak salah jika profesi seorang guru merupakan profesi pertama yang merasakan imbasnya.

Maka kemudian yang terjadi adalah, guru yang seyogyanya sebagai pendidik siswanya ûbaik di lingkungan maupun di luar sekolah, hanya berfungsi sebagai pengajar di kelas. Mari kita bicara jujur, hanya dengan beberapa ribu yang diterima oleh para guru, hanya mampu menghidupkan keluarganya selama beberap hari saja.

Kemudian pertanyaan yang timbul adalah dari mana mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya? Sekarang mari kita berapologi, fungsi seorang guru yang pengajar memiliki peran ganda dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya; biaya makan, biaya sekolah, transportasi ke sekolah, beli obat dan lainnya, yaitu di samping ia sebagai pengajar di kelas, juga ia sebagai pengojek yang (bisa jadi) menjemput siswanya pulang sekolah, mengantar orang tua murid ke pasar atau kantor.

Betul jika guru memiliki peran ganda, yaitu seorang pengajar juga pengojek. Maka kemudian pertanyaan yang timbul adalah, tanggung jawab siapa prilaku siswa di luar sekolah?
Keempat meski dianggap argumen klasik, tapi kadang problem yang ditimbulkan dalam keluarga mendominasi dari timbulnya prilaku menyimpang pada diri anak. Prilaku menyimpang anak usia pelajar tidak sepenuhnya kesalahan anak, tapi bisa saja disebabkan keharmonisan dalam keluarga mulai menipis dan menghilang.

Keributan orang tua di depan mata putra-putrinya sudah menjadi tontonan, layaknya mereka melihat adegan ribut dalam sinetron/film Indonesia. Tanpa disadari bahwa apa yang dilakukan orang tua di depan anaknya sudah menghancurkan psikolgis sang buah hati, maka dalam kondisi keputusasaan usia pelajar sangat mudah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, meskipun berakbiat fatal.

Dari pemaparan di atas penulis mengajak untuk bersepkulasi, lalu siapa yang patut disalahkan dengan kejadian seks bebas di kota gerbang marhamah tersebut? Sekolah yang memberi porsi agama sangat minim, pelajar yang mengikuti arus globalisasi hidup bebas, guru yang berpenghasilan sedikit kemudian berperan ganda, sebagai pengajar dan pengojek, atau aksi keributan orangtua di depan anaknya dan bersikap acuh terhadap anaknya?

Terlepas dari itu semua, sejenak kita merenungi harapan Menteri Pendidikan Nasionan Republik Indonesi yang disampaikan pada hari jadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di beberapa media eletronik, bahwa lembaga pendidikan seharusnya dapat melahirkan
generasi bangsa yang berintelektual tinggi dalam menghadapi dan menjawab tantangan di era globalisasi.

Lebih penting dari itu semua, seyogyanya pemerintah, guru dan orang tua mengambil pelajaran berharga dari kasus prilaku asusila sebelas siswa dan gurunya, dengan mewujudkan sebuah kemanunggalan yang tak terpisahkan dalam membentengi moral generasi bangsa dengan menunjang kebutuhan para pahlawan tanpa jasa, dan menjadi tauladan bagi putra-putri generasi penerus bangsa tersebut. (*)

Anas Nashrullah KH SH*, Direktur HARAMAIN Education Centre, Depok

http://www.bangkapos.com/opini.php?id=551