Jumat, 04 Juli 2008

etika berbudaya

MENCIPTAKAN MASYARAKAT BERETIKA DAN BERBUDAYA

Negeri ini nampaknya berada dalam satu puncak kerisauan dan kebingungan hanya untuk menentukan atau menyatakan realitas dirinya yang sesungguhnya. Yang setidaknya ia percayai “sesungguhnya”. Hingga di tingkatan individual. Secara individual, sebagai misal, kita masih selalu percaya untuk mengatakan bahwa “saya adalah orang Indonesia”, tanpa satu kapasitas untuk mengatakan “Indonesia apa, yang mana, yang bagaimana?”, saya “apa, siapa, dari mana, mau kemana”, dan seterusnya.eninggal?

Etiskah seseorang berkunjung ke rumah orang lain, pada lewat tengah malam? Di sini kita menggunakan patokan-patokan yang bersifat umum. Dan apa yang etis atau tidak etis di dunia kampus tadi, bisa juga berlaku di masyarakat di luar dunia kampus. Dengan begitu suatu corak tingkah laku dipandang etis dan tidak etis berdasarkan ukuran-ukuran umum tadi.

Ada pula etika dalam tata pemerintahan. Dalam prinsip good governance, suatu tindakan disebut etis, bila, antara lain, tindakan itu serba jelas, transparan, mudah dikontrol, dapat dipertanggungjawabkan secara publik, dan terbuka untuk menerima dan mengakomodasi partisipasi orang banyak.

Dalam bingkai aturan semacam itu, dipandang tidak etis, bahkan dapat juga dipersalahkan secara hukum, bila diam-diam seseorang memasukkan anggota keluarganya sendiri di dalam keikutsertaan suatu tender di kantor di mana seseorang itu bekerja. Bahkan bila ia pimpinan kantor tersebut. Ini tidak etis, bahkan dapat dipersalahkan secara hukum, karena terdapat di dalamnya unsur KKN, yang dapat mengundang penyimpangan lebih jauh, dan lebih berbahaya: memenangkan anggota keluarga di dalam tender, untuk bisa menyimpangkan uang kantor ke dalam aliran uang keluarga.

Patut dicatat bahwa ukuran etis dan tidak etis ada kalanya tak dapat dipisahkan dari ukuran benar dan salah secara hukum. Di sini etika sekaligus tampil dalam corak norma. Khususnya norma hukum yang memiliki sanksi-sanksi lebih tegas daripada teguran dari sudut pantas dan tidak pantas, atau etis dan tidak etis.

Tentu saja ada etika dalam relasi-relasi politik antara suatu partai politik dengan partai politik lain, antara DPR dengan pemerintah, atau antara presiden dengan wakil dan para pembantunya. Di luar kehidupan politik masih banyak lagi corak aturan etis.

Ukuran etis, patut dan tidak patut, layak dan tidak layak, nista atau mulia, memalukan atau tidak perlu dianggap malu, semuanya merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan dalam hidup kita. Bagi manusia yang “berbudaya”, yang menjaga tata aturan hidup dari urusan sopan dan tidak sopan, layak dan tidak layak, maka perkara malu dan tidak malu, pantas dan tidak pantas, nista atau mulia, merupakan perkara penting dan sensitif, dan dijaga dengan baik agar segenap tingkah lakunya tak tercemar dari sudut etika tadi.

Menjadi jelas bagi kita bahwa etika merupakan bagian dari kompleksitas unsur-unsur kebudayaan. Ada banyak unsur kebudayaan lain. Norma, sistem nilai, pandangan dunia, filsafat, kesenian, ilmu pengetahuan, ekonomi, cita rasa, tingkah laku, sikap, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan setempat, dan juga agama, dapat dianggap contoh-contoh yang dapat memperjelas persolaan kebudayaan.

Dengan uraian ini saya hendak menegaskan bahwa etika dan kebudayaan, atau etika tersendiri dan kebudayaan tersendiri pula, pada dasarnya dapat diciptakan. Dalam disiplin antropologi disadari bahwa manusia, setiap saat pada dasarnya di sibukkan oleh urusan menciptakan etika, norma, tradisi, maupun pandangan dunia. Dengan ringkas dapat dikatakan, kita selalu sibuk menciptakan kebudayaan, karena suatu corak kebudyaan tertentu—di dalamnya ada etika tadi—sering mengalami proses pelapukan, memudar, tak lagi akomodatif, dan tertinggal dari perkembangan zaman yang terus berputar dan berubah secara sangat cepat. Kita membutuhkan sikap, cara pandang, perilaku, nilai-nilai, etika, norma dan tradisi yang lebih baru, yang dapat memberi kita rasa nyaman dalam merespon perkembangan zaman tadi.

Dengan kata lain kita membutuhkan kebudayaan—sekaligus dengan unsur etikanya tadi—untuk bisa menjaga kelangsungan hidup di tengah perputaran dan perubahan-perubahan zaman. Maka agar kebutuhan itu terpenuhi kita harus kreatif mencipta. Mungkin mencipta etika, hanya sebagian, mungkin mencipta kebudayaan secara keseluruhan.

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa etika—apa yang etis dan tidak etis, pantas dan tidak pantas, atau sopan atau tidak sopan, sering tak terpisah, overlap, dengan norma hukum. Di sini berarti, bila kita menciptakan etika, sekaligus kita menciptakan hukum.

Seorang gubernur melarang anaknya dan semua kerabat dekat dalam keluarganya berbisnis di daerah yang berada dalam cakupan wilayah kekuasaannya, terutama di kantor-kantor karena bila itu di langgar, ia bisa dituduh bukan hanya tidak etis, melainkan juga bisa melanggar hukum dan bisa berakibat serius.

Semua pihak yang terkait dalam keluarga dekat maupun kerabat jauh, menjaga dengan baik seruan sang gubernur, semata menjaga diri dari apa yang tidak etis. Ketika diamalkan dengan baik, hasilnya hanya memelihara etika, Tetapi ketika dilanggar, maka pelanggaran itu menyangkut etika sekaligus hukum.

Ini perkara mencipta suatu corak etika yang berlaku di dalam lingkup sempit, lingkup keluarga. Etika yang dengan bagus pernah berlaku umum lahir dalam bentuk kebijakan politik nasional mengenai keharusan bagi tiap warga negara untuk memiliki dua anak—paling banyak tiga—yang diterjemahkan secara jelas di dalam lingkup penciptaan nilai, menjadi Nilai Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.

Demi berjalannya kebijakan nasional ini, maka penciptaan nilai harus terwujud secara jelas. Maka, bila seorang pejabat, terutama pejabat BKBN sendiri membolehkan istrinya melahirkan lebih dari tiga anak selama masa ia menjabat, maka jelas ia akan mudah dicibir orang banyak—terutama di kantor—karena urusan melahirkan lebih dari tiga anak lalu menjadi urusan etis.

Di sini, melanggar etika terasa lebih pedih, daripada melanggar norma tertentu, biarpun sanksi pelanggaran norma lebih jelas. Kecuali itu, jelas pula di sini bahwa etika bisa diciptakan dalam lingkup yang sempit, maupun dalam lingkup luas—sampai pada tatanan nasional—sebagaimana dicontohkan diatas.

Secara teoritis kita bisa bicara perkara pendidikan mengenai living values—dan dapat juga mengenai living ethics— melalui lingkup sosial yang lebih terbatas. Di sekolah-sekolah tertentu ada ada yang secara sengaja diajarkan nilai demokratis, sikap anti korupsi, sikap pluralis dan watak toleran terhadap agama lain.

Sementara LSM— juga kantor saya, Partnership for Governance Reform— sejak lama menyelenggarakan penataran tentang good governance, transparansi, system budget berbasis gender, sistem pangangggaran berbasis partisipasi. Pada dasarnya semua usaha dan langkah reformasi di sini berkutat pada pendidikan tentang etika pemerintahan.

Di sini jelas, etika dan juga kebudayaan, dapat diciptakan. Mengenai pendidikan tentang living values seperti di sebut diatas, yang terjadi dibeberapa sekolah, pada dasarnya hanya bentuk baru dari apa yang dimasa lalu kita kenal sebagai pendidikan budi pekerti. Di masa lalu kita memiliki pendidikan budi pekerti, yang bersifat etika dan nilai-nilai yang bersifat praktis. Etika diajarkan bukan dalam tingkat diskursus, melainkan melalui praktek nyata.

Tidak etis mengantongi pensil yang ditemukan di halaman sekolah, di jalan yang masih dekat sekolah, apa lagi di ruang-ruang dalam lingkup sekolah. Pensil itu biasanya segera diserahkan kepada guru, dan sang guru akan menyelidiki dengan teliti siapa yang kehilangan pensil: warnanya apa, baru atau lama, kira-kira seberapa panjangnya, merknya apa, ada karet penghapusnya apa tidak, dan seterusnya, sampai dengan sangat yakin bisa dikembalikan pada seorang murid yang memang pemilik pensil tersebut.

Living Values sebagai corak pendidikan lahir dalam konteks kebudayaan ketika kita terdesak kebutuhan-kebutuhan. Voters education pun cermin usaha mencipta norma, nilai dan etika, ketika kita terdesak. Kita menciptakannya secara instant. Dan sifatnya, sekali tercipta untuk sekali berguna, kemudian dilupakan.

Ciptaan tadi tidak sustainable. Kecuali itu semuannya berlaku sangat lokal. Dan tak berpengaruh pada masyarakat di tempat-tempat lain.

Kita dihadapkan pada fenomena mengenai etika, yang dimasa lalu dapat berlaku umum, dan yang pada dewasa ini berlaku pada komunitas-komunitas kecil, lokal dan terbatas.Tidak mengherankan bila kemudian muncul pertanyaan: “Sulitkah menciptakan masyarakat beretika dan berbudaya”.

Etika, nilai, norma, tradisi, dapat diciptakan. Tetapi masyarakat beretika dan berbudaya hanya dapat diciptakan dengan beberapa persyaratan dasar, yang membutuhkan dukungan-dukungan. Ada dukungan politik, ada kebijakan, ada kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan, dan tidak ragu melaksanakan secara konsekuen keputusan itu di bawah, lingkup kepemimpinan yang berani mengambil resiko-resiko.Selebihnya, dibutuhkan pula ruang akomodasi—lokal, nasional—di mana etika diterapkan, dengan kontrol, pengamatan, dan tersedianya pihak-pihak yang bisa memelihara kehidupan etika tersebut.

Pemimpin dan corak kepemimpinan yang mengerti kiblat etika, dan kebudayaan, dan berani memerintah, akan menjadi pendukung terciptanya suatu jenis masyarakat beretika dan berbudaya.Pada tingkat lokal, di kabupaten-kabupaten, kita dapat menjumpai pemimpin seperti itu. Di Sragen ada aturan etis mengenai pemasangan iklan. Etika ini tercampur dengan norma hukum, berupa pelarangan memasang iklan di sepanjang jalan, di pohon-pohon, ditembok-tembok, atau ditiang-tiang listrik.

Etika dan aturan ini dipenuhi dengan taat oleh seluruh warga. Dan iklan diberi akomodasi khusus. Etika dan larangan berjualan ditrotoar jalan-jalan, dipatuhi, bukan terutama karena ditindak tegas secara hukum melainkan karena perasaan bahwa melanggar apa yang tak boleh dilanggar menimbulkan cacat dan cela mengenai ketidakpantasan. Ketaatan masyarakat pada aturan bukan cermin kewajiban syar’i (kesadaran hukum), melainkan karena kesadaran etis, yang tumbuh dari dalam tiap jiwa warga masyarakatnya.

Mengapa kesadaran etis bisa tumbuh? Jawabnya, karena larangan itu disertai akomodasi. Dilarang berjualan di trotoar jalan, tetapi diberi tempat yang bagus ditempat lain. Dan pedagangpun bisa hidup layak dan terhormat! Karena diberi kehormatan oleh pemerintahnya.

Tidak ada komentar: