Jumat, 04 Juli 2008

kemanusiaan,adil, dan demokrasi

keadilan


Orang kini semakin menyadari bahwa keadilan merupakan masalah penting dan mendesak untuk ditangani dalam kehidupan bersama. Sentimen ini telah lama disuarakan, John Rawls, misalnya, menyatakan bahwa keadilan merupakan kebajikan utama institusi-institusi sosial. Kata Rawls, ’sebuah teori, betapapun elegan dan ekonomis, harus ditolak atau diperbarui jika tidak benar; demikian juga, hukum dan institusi betapapun efisien dan tersusun dengan baik, harus dihapus atau diperbarui jika tidak adil’.

Seluruh nilai politik dan tatanan sosial kita karena itu perlu diukur menurut dan berlandaskan pada keadilan. Teori perdamaian demokrasi (democratic peace theory), misalnya, menyebutkan bahwa perdamaian hanya mungkin terjadi jika setiap negara atau masyarakat menjadi demokratis. Tetapi teori ini nampaknya akan tetap menjadi perdebatan, karena demokrasi terbukti bisa menjadi sangat ambisius. Kelompok atau negara dapat, atas nama demokrasi, memaksakan nilai-nilainya kepada kelompok atau negara lain justru atas nama demokrasi. Karena itu, bukan demokrasi yang harus jadi prioritas, tetapi keadilan.

Para pemikir keadilan seperti John Locke, Thomas Paine, John Rawls, Ronald Dworkin, Robert Nozick, Michael Walzer, Karl Marx, Amartya Sen, Susan Okin, Thomas Pogge dengan caranya masing-masing telah merubah dan memperbaharui berbagai ragam tradisi ideologis yang mereka wakili. Kita perlu memperhatikan pandangan mereka tentang nilai-nilai (values) yang mendasari kehidupan politik, visi mereka tentang “masyarakat yang baik” (good society) dan pertanyaan tentang apa prinsip-prinsip keadilan (principles of justice) dan bagaimana mengembangkaan distribusi kekayaan (resources) yang adil.

Kajian secara secara saksama atas pandangan mereka dapat memperkaya wacana dan pemahaman tentang berbagai masalah keadilan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Sebab, masalah keadilan juga telah menjadi masalah mendesak dan harus segera ditangani di Indonesia. Penilaian mengatakan bahwa meskipun Pancasila sebagai dasar negara mengandung nilai keadilan, namun, diantara kelima sila dari Pancasila, keadilan merupakan sila yang paling sial. Kenapa demikian?

Apakah itu, seperti dikatakan sejumlah kalangan, karena Pancasila ’belum memiliki definisi yang jelas secara konseptual maupun operasional mengenai cita-cita, tujuan, serta cara atau mekanisme untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang diinginkan’?

Benarkah, sebagai wawasan politik, Pancasila terlalu normatif dan tidak menjangkau persoalan-persoalan ekonomi dan sosial yang kongkrit, seperti kemiskinan dan keadilan sosial, dan karena itu, dibandingkan ideologi-ideologi semacam Marxisme, Sosialisme, Liberalisme atau bahkan ekonomi Islam, Pancasila menjadi terlalu lemah?

Keadilan perlu dikaji dan dikembangkan secara saksama terutama karena bukti memang menunjukkan adanya bentuk-bentuk ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat di Indonesia dan juga dalam konteks hubungan internasional dengan implikasi-implikasi yang sangat serius terhadap keamanan, stabilitas, kohesi sosial dan secara umum kelangsungan hidup manusia di masa depan.


Tidak ada komentar: